Andi Surya: Lampung Masih Rawan Konflik Agraria

img
Ilustrasi.

Harianmomentum.com--Senator Andi Surya mengatakan konflik agraria masih rawan terjadi di wilayah Provinsi Lampung pada tahun 2019.

"Ibarat api dalam sekam, persoalan cukup banyak, mulai dari infrastruktur, pertanian, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain," kata Anggota DPD RI asal Lampung, Kamis (3-1-2019).

Bahkan, dipenghujung tahun 2018 Provinsi Lampung harus berduka dengan adanya musibah akibat bencana tsunami yang menimbulkan korban jiwa hingga kerusakan infrastruktur serta rumah warga di Kabupaten Lampung Selatan.

"Lampung yang damai tiba-tiba saja mendapat musibah. Namun dibalik itu ada persoalan konflik agraria yang masih mengintip dan mendera warga Lampung," ucap Andi Surya.

Mantan Anggota DPRD Lampung ini  menguraikan, pertama konflik terkait Hak Penguasaan Lahan (HPL) atas nama Pemprov Lampung di Waydadi dan sekitarnya. Kemudian, HPL milik PT Pelindo di Waylunik Panjang.

Untuk itu, perihal HPL ini sudah diuraikan dalam rapat dengar pendapat di Komite 1 DPD RI yang menyatakan bahwa keduanya dilepas kepada masyarakat dengan terlebih dahulu dikembalikan kepada negara, tidak bisa dipindah-tangankan ke pihak lain dengan alasan memperkuat sektor penerimaan daerah untuk APBD atau kas BUMN karena ini tidak diatur dalam UU dan peraturan pemerintah.

"Hal itu bisa berakibat hukum di belakang hari," sebutnya.

Kedua kata Ketua Yayasan UMITRA Indonesia ini, tentang lahan Grondkaart bantaran rel KA yang diklaim PT KAI.

"Persoalan itu sudah berkali-kali dibahas oleh DPD RI, hingga pada kesimpulan bahwa Grondkaart bukan alas hak kepemilikan PT KAI karena tidak sesuai dengan UU Pokok Agraria, UU Perkertaapian hingga PP Penyelenggaraan Perkeretaapian yang menyatakan lahan milik KA sebatas enam meter kiri dan kanan rel saja," katanya.

Artinya, menurut senator itu, secara UU Pokok Agraria lahan bantaran rel KA dikuasai warga masyarakat yang telah menempati lebih dari 20 tahun.

Selain itu, Grondkaart yang dipegang PT KAI adalah salinan, aslinya masih dikuasai Ratu Belanda, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum apa pun terkait surat tersebut.

Ketiga kata Andi, adalah persoalan lahan register yang telah ditempati ratusan ribu warga masyarakat.

Register ini adalah peraturan zaman Belanda yang mengatur wilayah nusantara sebagai hutan yang tidak boleh dihuni manusia.

Namun di saat RI merdeka terjadi pertumbuhan demografi secara dinamis sehingga batas-batas register itu sudah tidak kontekstual lagi oleh karena ruang hidup semakin sempit. Perlu terobosan UU agar wilayah register bisa menjadi pemukiman warga.

"Jangan sampai kita terbelenggu oleh warisan aturan Belanda yang lebih mengutamakan satwa liar atau tetumbuhan hutan yang secara faktual sudah dihuni manusia warga negara Indonesia dan bahkan di dalamnya sudah ada infrastruktur yang dibiayai negara. Aturan wilayah register perlu dirubah karena telah berproses ke arah ruralisasi bahkan urbanisasi yang progresif," jelas Andi Surya.

Yang terakhir kata dia, rawan konflik agraria adalah menyangkut Hak Guna Usaha (HGU) yang dikuasai oleh BUMN maupun perusahaan swasta, problemnya adalah penyerobotan lahan ulayat, hak adat bahkan hak milik rakyat oleh pemegang HGU akibat tidak tertatanya administrasi lahan yang benar.

"Pemegang HGU seenak udel-nya menggeser batas wilayah merampas lahan rakyat secara masif yang akibatnya mendapat perlawanan warga masyarakat secara horizontal. Ini terjadi di beberapa titik wilayah Lampung, sangat berbahaya dan mengganggu keharmonisan, ketertiban dan keamanan daerah dan nasional," sebut Surya.

Saran Andi Surya, perlu ada kesungguhan baik pemerintah pusat dan daerah, kalangan parlemen serta tokoh-tokoh masyarakat untuk menyelesaikan konflik lahan ini terutama melakukan perubahan UU khususnya peraturan agraria yang lebih kontekstual, selanjutnya diperlukan pembentukan pengadilan khusus agraria yang hakim-hakimnya profesional ahli hukum agraria.

"Agar keputusan konflik lahan tetap mengacu pada hukum tanah," saran Andi Surya.

Ia menjelaskan, yang perlu diingat adalah, sesuai UUD 45 pasal 33 ayat 2 disebutkan; tanah, air, udara dan yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Artinya, mari kita hormati hak agraria warga masyarakat," pungkas Andi Surya.(red)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos