MOMENTUM, Bandarlampung--Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia membenarkan, RMN (24) menjadi pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara pada Rabu (13-11-2019) pagi. Fenomena ini semakin memperpanjang bahwa teroris menggunakan media sosial untuk mempengaruhi gerakan milenial dalam melakukan aksi terorisme.
Banyaknya generasi milenial yang menjadi pelaku bom bunuh diri dipengaruhi oleh usia remaja yang rentan. Fenomena ini terlihat dalam kasus bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara, yang dilakukan oleh RMN (24) dan berasal dari generasi milenial. Teroris berusia muda ini dapat terjadi karena mereka berada di usia yang rawan, karena kebutuhan jati diri dan eksistensi.
Fenomena pelaku bom bunuh diri berusia muda sudah terjadi sejak lama. Diawali kasus Bom JW Marriot yang pelakunya masih belasan tahun. Namun, tidak benar apabila aksi lone wolf tersebut dikaitkan dengan tinggi rendahnya pendidikan yang dienyam pelaku. Hal ini karena paham radikal menjadi menarik bagi generasi milenial karena menggunakan daya tarik agama dan dalam beberapa kasus ada bumbu heroisme.
Tidak hanya itu, generasi milenial semakin mudah terpapar paham radikal lantaran mudah mengakses dan menghabiskan banyak waktu luang di internet. Saat ini radikalisasi semakin mudah terjadi karena adanya internet, konten dan narasi radikal disebar dengan mudah dan diakses oleh generasi muda. Banyak waktu luang mereka untuk akses internet. Dalam beberapa kasus pelaku teror lone wolf, ditemukan bukti bahwa mereka terpapar paham radikal secara mandiri melalui internet.
Anak muda di Indonesia kerap dijadikan target oleh kelompok terorisme. Generasi muda dimanfaatkan oleh kelompok terorisme sebagai sasaran propaganda dan radikalisme. Di Indonesia tercatat beberapa kali pelaku aksi terorisme pernah dilakukan oleh generasi muda di bawah usia 25 tahun seperti pelaku bom Hotel JW Marriot (2009), serangan Rutan Mako Brimob (2018), dan penyerangan gereja di Medan (2016).
Aksi tunggal akan suli terdeteksi oleh aparat keamanan. Bagaimanapun juga pelaku tunggal lebih berbahaya, karena mereka tidak terdeteksi, merencanakan sendiri dan melakukan aksi sendiri. Berbeda dengan aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok masih mungkin terdeteksi lewat percakapan saat melakukan komunikasi.(**)
Oleh : Stanislaus Riyanta. Penulis adalah pengamat intelijen. Mahasiswa program doktoral Universitas Indonesia (UI)
Editor: Harian Momentum