MOMENTUM, Bandarlampung--Puluhan orang menggelar aksi menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, di komplek Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, Kamis (20-2-2020).
Koordinator aksi massa yang mengatasnamakan Gerakan Buruh Berasama Rakyat (Gebrak) Lampung itu berorasi. Dia menyampaikan tuntutan melalui pelantang (alat pengeras suara) dari atas mobil komando.
Sebagian lagi, massa yang mengenakan rompi atau pakaian berwarna merah, bergandengan tangan berbaris dekat gerbang masuk komplek pemprov.
Sementara di bagian dalam gerbang yang tertutup portal, berbaris sejumlah Polisi Pamong Praja. Selain itu, terlihat aparat kepolisian bersiaga tak jauh dari lokasi demo.
Koordinator lapangan, Funki Rulita Sari menyebutkan alasan penolakan RUU tersebut. "Alih alih memberikan perlindungan terhadap buruh, RUU Omnibus Law justru membuka kran investasi namun tidak menjamin kelangsungan hidup buruh," jelasnya kepada harianmomentum.com.
Menurut dia, aksi tersebut merupakan yang ketiga kali massa buruh menyampaikan aspirasi penolakan kepada DPRD Provinsi Lampung.
"Menuntut pembatalan RUU Omnibus Law Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial," katanya.
Karena itu, buruh Lampung menolak Omnibus Law RUU Cilaka. menilai keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha.
Selain itu, substansi RUU Cilaka Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda.
"Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan," ungkapnya.
RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam ?Agrarische Wet ? 1870.
Aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal.
Formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat ?domein verklaring khas aturan kolonial.
Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai. Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan memerintahkan aparat keamanan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini.
Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu. Kegagalan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakannya tidak perlu ditutupi dengan membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian lingkungannya.
"Kami mendesak kepada pemerintah provinsi dan DPRD provinsi Lampung untuk membatalkan RUU Omnibus Law Cilaka," tegas Funki.
Massa buruh menuntut sikap tegas agar pemerintah provinsi untuk turut menolak dan mendengarkan aspirasi buruh. "bersatu tak bisa dikalahkan, buruh burkuasa rakyat sejahtera," pekik salah satu orator.
Menanggapi aksi tersebut, Kepala seksi Operasional Satuan Polisi Pamonv Praja (Satpol PP) Provinsi Lampung, Purnadasa mengatakan Satpol PP mempersilakan massa menyampaikan aspirasi dengan menjaga ketertiban.
"Silakan disampaikan apa yang menjadi keluhan buruh di Lampung, tapi harus memperhatikan ketertiban, jangan sampai mengganggu ruang publik, dan melakukam tindakan anarkis," harapnya.
Purnadasa mengatakan, pihaknya menyiapkan kurang lebih 70 personel guna melakukan pengamanan aksi. "Jangan sampai merusak aset negara, dan sampaikan aspirasi dengan cara cara yang bijak," tambahnya.
Pantauan harianmomentum.com, aksi berjalan tertib, secara bergiliran massa buruh melakukan orasi diatas mobil komando, hingga berita ini diterbitkan, belum ada perwakilan DPRD yang menemui massa aksi.
Laporan: Rifat Arif.
Editor: M Furqon.
Editor: Harian Momentum