MOMENTUM, Bandarlampung--Di tengah merebaknya wabah virus corona, terdapat berita lainnya yang juga penting namun sepertinya terlupakan. Adalah pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PAN dan RB) Tjahjo Kumolo pada 10 Februari 2020 lalu bahwa sejumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) gagal dalam seleksi eselon 1 dan 2 karena terpapar radikalisme.
Hal ini amat mengejutkan karena ASN yang mengikuti seleksi tersebut, untuk jabatan eselon 1, dapat dipastikan memiliki golongan minimal IV/c yang pastinya telah menduduki jabatan eselon 2 di masing-masing lembaga. Adapun jabatan eselon 1 memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan-kebijakan pokok untuk mencapai sasaran jangka pendek maupun jangka panjang.
Selain itu, pada 27 Februari 2020 lalu, Pemprov DKI Jakarta juga geger karena adanya informasi bahwa 1 (satu) orang diduga ASN Pemprov DKI Jakarta terpapar paham radikalisme. Informasi ini didapatkan Sekretaris Daerah Pemprov DKI Jakarta Saefullah dari Kementerian Hukum dan HAM. Permasalahan serupa juga diungkapkan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie pada 6 Januari 2020, yaitu adanya ASN di lingkungan Pemprov Gorontalo yang telah terpapar radikalisme.
Memang bukan perkara mudah untuk mengatasi permasalahan radikalisme karena ini terkait dengan ideologi. ASN yang berpikiran radikal dapat menyamarkan tampilan fisiknya agar tidak dicurigai berpaham tersebut, sehingga diperlukan metode screening lebih spesifik untuk mengetahui sejauh mana ASN terpapar radikalisme.
Adapun Pemerintah Pusat telah membuat SKB Penanganan Radikalisme ASN sebagai dasar hukum melakukan sinergitas antara kementerian/lembaga terkait untuk menangani tindakan radikalisme ASN yang didefinisikan sebagai intoleransi, anti Pancasila, anti NKRI, dan perbuatan yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. SKB tersebut tidak bertujuan mengatur bagaimana penganut agama berperilaku, melainkan mengatur bagaimana ASN sebaiknya bersikap khususnya di ranah media sosial. Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyetujui adanya SKB Penanganan Radikalisme karena menilai aturan ini diperlukan mengingat ASN adalah alat politik negara yang harus menjalankan ideologi politik negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Metode screening yang telah dibuat Pemerintah Pusat melalui SKB tersebut, sejatinya tidak akan berjalan maksimal tanpa partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan juga turut memperhatikan dan mengawasi tindak-tanduk ASN di lingkungan mereka termasuk di media sosial. Masyarakat juga diharapkan tidak ragu untuk melaporkan melalui portal penanganan ASN radikal jika ada ASN di lingkungan mereka yang terindikasi telah terpapar paham radikal, sehingga penanganan secara dini dapat segera dilakukan sebelum ASN tersebut terpapar semakin jauh.
Kita tidak perlu risau dan merasa khawatir bahwa apa yang dilakukan Pemerintah untuk menangani permasalahan radikalisme di kalangan ASN ini sebagai sesuatu yang berlebihan. ASN adalah role model bagi masyarakat karena mereka adalah pion-pion Pemerintah yang menjadi garda terdepan bagi pelayanan birokrasi di Indonesia. Sudah sepatutnya ASN tidak berperilaku radikal, apalagi anti Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia.
Selain itu, ASN digaji dari APBN yang didapatkan dengan salah satu sumbernya yaitu pajak rakyat. Apakah kita rela membiarkan hasil jerih payah kita yang dibayarkan kepada negara dalam bentuk pajak, untuk menggaji para ASN tersebut yang berpikiran radikal, selalu menyerang Pemerintah, dan anti Pancasila? Padahal ASN sendiri seharusnya mendukung kebijakan Pemerintah atau memberikan saran dan kritik membangun bagi Pemerintah dengan tujuan untuk kebaikan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Oleh karena itu, membiarkan Pemerintah sendirian mengatasi permasalahan radikalisme ASN tanpa partisipasi masyarakat, tidak mungkin dapat menyelesaikan permasalahan radikalisme tersebut. Sudah saatnya masyarakat turut ambil bagian untuk melaporkan para ASN terindikasi radikal di lingkungannya, sehingga Indonesia pada masa mendatang tidak dipimpin oleh mereka-mereka yang anti Pancasila.(**)
Oleh: Fikri Syariati, Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik.
Editor: Harian Momentum