Oleh Arief Rahmanda Al-Mursyid
MOMENTUM--Sudah menjadi doktrin di tengah masyarakat Indonesia, bahwa Indonesia adalah negara agraris. Hal itu bahkan sudah ditanamkan sejak masih di bangku sekolah.
Sejarah historis Indonesia pun menunjukkan hal demikian. Negara-negara eropa dulu berlomba-lomba menguasai nusantara disebabkan keinginan dalam memonopoli kekayaan alam dan perkebunan Indonesia.
Doktrin ini semakin diperkuat dengan suatu periode di masa orde baru, Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pangan bahkan dapat melakukan ekspor pangan ke luar negeri. Momen tersebut bahkan selalu digaung-gaungkan bahkan tiga puluh tahun sejak hal itu terjadi.
Saat ini Indonesia telah tumbuh. Indonesia tak lagi sama dengan tiga puluh tahun lalu. Modernisasi sudah banyak dilakukan untuk menjadikan Indonesia maju. Hal ini ditunjukkan dengan sektor pertanian tidak lagi menjadi leading sector pada PDRB Indonesia, digantikan dengan sektor Industri manufaktur. Lalu, masih layak kah Indonesia disebut negara agraris?
Kondisi Pertanian Indonesia
Jika dibandingkan alokasi daratan untuk pertanian, alokasi daratan untuk pertanian hanya berkisar 31,5 persen dari wilayah Indonesia. Angka itu masih dibawah negara lumbung Asia lain, seperti Cina dan Thailand yang mengalokasikan sebanyak 54,8 persen dan 43,4 persen.
Bahkan, beberapa negara maju mengalokasikan lebih banyak dari Indonesia seperti, Amerika sebanyak 50 persen, Australia sebanyak 52,9 persen, dan Inggris sebanyak 75 persen wilayah daratnya untuk sektor pertanian (Yulianto, 2021).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja sektor pertanian jumlahnya mencapai sekira 28,33 persen pada Februari tahun 2021.
Namun, sektor pertanian pada tahun 2021 hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 2021 sebesar 13,17 persen. Besarnya gap antara kontribusi PDB sektor pertanian dibandingkan dengan persentase tenaga kerja menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih sangat rendah.
Data BPS hasil survei pertanian antar sensus (SUTAS) tahun 2018 menunjukkan, bahwa sebanyak 85,1 persen petani di Indonesia berada pada usia produktif (15-64 tahun), sisanya sebanyak 14,9 persen sudah berada pada usia tidak produktif (lebih dari 64 tahun).
Namun, jika diselisik lebih mendalam 87,6 persen petani usia produktif berada pada rentang usia 35 sampai 64 tahun, sedangkan hanya 12,4 persen petani yang tergolong muda dan usia dibawah 35 tahun. Ini bisa menjadi indikasi berkurangnya minta generasi muda untuk menjadi petani.
Penurunan minat generasi muda menjadi petani bisa dikarenakan sektor pertanian dianggap kuno dan kurang menguntungkan dari segi ekonomi.
Kebanyakan lulusan pertanian lebih memilih bekerja di sektor lain, sedangkan sektor pertanian banyak dikerjakan oleh orang tua dan berpendidikan rendah. Dampaknya adalah kurang efisiennya produksi pertanian dan kurangnya kemampuan mengaplikasikan peran teknologi.
Kesimpulan
Indonesia masih layak dianggap negara agraris, apalagi jika berpatokan pada jumlah tenaga kerja dan kontribusi PDB yang cukup besar.
Namun, sektor pertanian Indonesia jelas punya seabrek pekerjaan rumahnya. Salah satu hal utama yang harus segera dibenahi adalah pemanfaatan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam bentuk pengalihan alat pertanian dari manual berskala kecil menuju mesin berskala besar harus dilakukan di setiap wilayah pertanian di Indonesia.
Dengan peningkatan teknologi ini akan menyebabkan berkurangnya waktu, biaya, dan tenaga produksi. Dengan demikian, produktivitas sektor pertanian akan meningkat.
Di sisi lain, fokus kegiatan produksi selama ini masih berorientasi pada jumlah output yang dihasilkan, dengan petani dianggap sebagai faktor produksi. Orientasi kegiatan produksi ini harus diubah, dengan menjadikan petani sebagai subjek, yang memiliki tujuan utama menyejahterakan petani itu sendiri.
Dengan sejahteranya petani Indonesia diharapkan akan memacu petani untuk lebih giat dalam memproduksi output yang lebih berkualitas. Di sisi lain dengan lebih sejahteranya petani akan meningkatkan minat generasi muda untuk menjadi petani di masa depan, sehingga regenerasi petani Indonesia dapat terus berlanjut.
Lebih jauh, data dan riset harus dijadikan acuan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan yang diambil. Data iklim dan prakiraan cuaca dapat digunakan untuk membuat kebijakan waktu tanam dan waktu panen, data stok komoditas dalam digunakan dalam manajemen stok komoditas di setiap wilayah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, setiap kebijakan yang diambil dapat lebih diterima dan sesuai dengan kebutuhan nasional.
Dengan diterapkan hal diatas, diharapkan sektor pertanian semakin dapat meningkatkan produktivitasnya, petani pun semakin yang sejahtera, serta regenerasi petani juga semakin tertata. Hingga pada akhirnya, cita-cita Indonesia berdikari dalam ketahanan pangan bukan lagi sekadar ilusi belaka. Bangsa Indonesia bisa bangga disebut sebagai negara agraris. (*)
Arief Rahmanda Al-Mursyid - Fungsional Statistisi Ahli Pertama, BPS Provinsi Lampung
Email: [email protected]
Editor: Harian Momentum