MOMENTUM -- Literasi dalam perspektif pendidikan memiliki kompleksitasnya sendiri. Jika pendidikan bertujuan mencerdaskan masyarakat dan menentukan peradaban bangsa. Maka, literasi adalah tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Sehingga dapat dikatakan bahwa pentingnya peran dari literasi dalam konseptualisasi dan pelaksanaan pendidikan yang digunakan oleh masyarakat.
Namun dari berbagai pendapat yang mengemuka, ternyata sistem pendidikan di Lampung dan di Indonesia pada umumnya, tidak sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Lihat saja pada Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Meski sudah memasukan pendidikan berbasis masyarakat, namun masih dikekang oleh kerangka formal.
Hal itu ditandai dari penyelenggaraan pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah seperti TKA/TPA, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Taman Baca Masyarakat (TBM).
Meski tumbuh subur diselenggarakan oleh masyarakat namun masih harus mengikuti kaidah formal baik dalam kurikulum, assessment, dan aspek teknis lainnya.
Padahal, menurut Toto Suharto dalam bukunya "Pendidikan Berbasis Masyarakat", pendidikan berbasis masyarakat merupakan proses pendidikan yang lahir dari kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu tidak perlu dikekang dengan aturan-aturan formal sebab terbentuk melalui interaksinya dengan orang lain yang bertumpu pada masyarakat dengan asas lokal (community).
Pada bagian ini, secara spesifik saya merasakan TBM yang secara khusus menyelenggarakan aktifitas literasi di masyarakat juga menjadi tidak leluasa jika ditarik pada konteks formal kaena dijerat dengan legalitas yang serba birokatif.
Alasan TBM perlu dilabeli dengan legalitas formal mungkin agar pihak pemerintah melalui unsur-unsur birokrasinya bisa intervensi dalam hal bantuan pendanaan dan sebagainya.
Namun kekhawatiran yang timbul pada jangka panjang selanjutnya adalah hilangnya prinsip pendidikan masyarakat yang sejatinya dilakukan ‘dari, ‘oleh’ dan ‘untuk’ masyarakat.
Jika pemerintah dan unsur birokrasi ingin mengambil peran yang lebih besar dalam penyelenggaraan literasi masyarakat, intervensi bisa dilakukan dengan upaya lain tanpa harus mendominasi keseluruhan konseptualisasi tersebut.
Maka tak heran jika kemudian merujuk pada pendekatan teori pemikiran Michael Foucaoult mengenai relasi pengetahuan/kekuasaan, bahwa pengetahuan melalui proses pendidikan tak akan pernah lepas dari kekuasaan meski dengan represi atau tekanan sekalipun.
Bukan bermaksud hendak menghilangkan peran pemerintah, namun penting sekali untuk memposisikan masyarakat yang bukan hanya dijadikan objek tetapi juga menjadi subjek yang ikut menentukan dan memberikan masukan.
Pada tataran teori, mungkin konsep tersebut kurang bisa diterima pada konteks relasi antara negara dan masyarakat. Namun jika mencermati realita saat ini, sudah timbul polarisasi dalam penyelenggaraan literasi masyarakat seperti pada TBM.
Ada komunitas baca/TBM yang menyelenggarakan aktifitas literasi di masyarakat memilih menjadi organ yang mandiri tanpa intervensi dari pemerintah dan terkadang malah kerap dituduh subversif anti pemerintah yang akhirnya redup lalu tumbang. Ada juga TBM yang aktif melakukan kegiatan jika ada program atau bantuan, jika tidak ada bantuan maka aktifitasnya menjadi pasif.
Adanya miskonsepsi seperti inilah yang kadang menjadi penghambat majunya pendidikan gerakan literasi di masyarakat khususnya di Lampung dan di Indonesia pada umunya.
Dari sisi perkembangannya yang lebih khusus dan menukik, gerakan literasi masyarakat sebenarnya sudah berjalan sejak lama seiring dengan bertumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap literasi.
Bahkan pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, tokoh-tokoh yang familiar saat itu sudah mendirikan pusat pembelajaran literasi di masyarakat meski dengan menggunakan nama dan pengistilahan yang berbeda seperti saat ini. Ada KH.Ahmad Dahlan, RA.Kartini, Ki Hajar Dewantara dan tokoh lain-lainnya.
Menyusul pada perkembangan yang lebih modern saat ini, entitas gerakan literasi masyarakat yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus berkolaborasi dan terlibat dalam usaha bersama dengan institusi pemerintah.
Kini melalui institusi formal seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Perpustakaan Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informasi serta kementerian lain sudah memposisikan dan mendudukkan literasi secara khusus. Baik dalam hal badan/tim pelaksana, program, regulasi maupun anggaran.
Misalnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah membuat desain literasi masyarakat dalam Gerakan Literasi Nasional (GLN) dengan Surat Keputusan No.045/P/2017 tentang Kelompok Kerja Gerakan Literasi Nasional.
Membagi kelompok literasi menjadi 3 “gerakan” sehingga tidak hanya ada Gerakan Literasi Masyarakat saja, tetapi ada juga Gerakan Literasi Keluarga (GLK) dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Bahkan ada pengelompokan literasi berdasarkan jenis (baca-tulis, numerasi, sains, digital, financial, budaya dan kewargaan).
Konsep yang dibuat kementerian ini melalui naungan Direktorat Pendidikan Masyarakat dengan mengadopsi program di era Orde Baru yakni untuk memberantas buta aksara dengan penyediaan akses bacaan.
Perpustakaan Nasional juga tidak kalah keren, melalui Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca telah menyusun konsep sendiri untuk dijadikan pedoman dan acuan penyelenggaraan aktifitas literasi bagi masyarakat.
Yakni, berupa Pedoman Pemasyarakatan Kegemaran Membaca Melalui Keluarga, Satuan Pendidikan dan Masyarakat yang baru saja diterbitkan pada tahun 2021. Program yang dimiliki Perpustakaan Nasional ini juga relatif menyentuh masyarakat dengan bantuan stimulan sarana prasarana untuk perpustakaan dan TBM.
Kementerian Komunikasi dan Informasi ini juga hebat, meskipun pernah timbul kontroversi akibat pemaknaan nama program “Tol Langit” yang kurang dimengerti oleh masyarakat, namun upayanya membangun jaringan akses internet yang luas dan merata untuk mengurangi blankspot di tanah air tentu diapresiasi oleh masyarakat.
Lantas dengan segala hal yang dilakukan oleh institusi pemerintah tersebut apakah telah berhasil?
Saya yakin setiap lembaga institusi tersebut dengan konsep yang dibuat, memiliki indikatornya tersendiri yang sudah disusun sejak awal dalam tahap perencanaan. Tentu saja capaian dari setiap institusi tersebut juga akan berbeda-beda.
Mengapa berbeda, lagi-lagi karena adanya miskonsepsi pada regulasi dan implementasi yang tidak komprehansi. Kemudian dari sumber data yang terserak, banyak sekali ditemukan capaian update yang menunjukan grafik maupun ranking atas kemampuan literasi kita. Baik yang berskala daerah, nasional maupun skala internasional.
Pada akhirnya, mari kita sejenak masuk ke dalam untuk kembali meresapi makna literasi pada konteks yang lebih humanis dan untuk lebih mengetahui apakah literasi sudah sampai pada peran dan tempat yang selayaknya di masyarakat.
Tak perlu juga berdebat kala dihadapkan pada pertanyaan siapakah yang paling bertanggungjawab. Karena literasi sebagai tujuan pendidikan, implementasinya adalah memberi praktik dan contoh nyata di tengah hedonisme yang multidimensi.
Seperti dikatakan Najelaa Shihab dalam buku yang berjudul Literasi Menggerakkan Negeri, banyak pihak yang secara personal maupun komunal berusaha melawan miskonsepsi literasi, namun malah mengalami hambatan.
Literasi bukan hanya soal capaian prestasi, bukan juga hanya soal jumlah perpustakaan/taman baca atau penggunaan media sosial. Literasi adalah kemampuan menalar dari proses belajar dimana saja, kapan saja dan darimana saja. Literasi adalah upaya untuk memanusiakan manusia, tak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi orang lain. Salam Literasi. (*)
Oleh Eko Prasetyo
Pegiat literasi Lampung - [email protected]
Editor: Muhammad Furqon