Puluhan Tahun Bergantung Hidup dari Pempek

img
Guntur, penjual pempek keliling saat ditemui di seberang Stadion Pahoman, Kota Bandarlampung, kemarin. Foto: Vino AW

MOMENTUM, Bandarlampung-- Rantang aluminium dan tongkat kayu menjadi benda yang sangat akrab bagi kehidupan Guntur (59).

Hampir setiap hari, dua benda itu selalu mendampinginya dalam mengais rezeki. Layaknya teman sejati.

Tentu, bukan itu yang dia jajakan kepada pembeli. Melainkan isi dalam rantang: pempek khas Palembang. 

Sudah 38 tahun lamanya dia berjualan makanan berbahan dasar tepung sagu dan ikan giling tersebut.

Bahkan sejak usia 21 tahun, pekerjaan itu telah ia tekuni.

Baca Juga: Pandai Besi, Riwayatmu Kini

Sayang, banyaknya pesaing dan semakin berkurangnya minat pembeli di Jakarta, membuat dia hijrah ke Lampung. Sejak dua tahun lalu.

Kelurahan Pahoman Bandarlampung menjadi wilayah “operasinya” dalam berjualan.Terutama di sekitar stadion.

Sebelum bertemu harianmomentum.com, Guntur terlihat berkeliling memanggul rantang alumunium berukuran besar dan keranjang plastik berwarna biru, menggunakan tongkat kayu di pundaknya.

Baca Juga: Pengayuh Becak Tergerus Zaman

Mengenakan topi hitam bundar yang telah usang, lengkap dengan handuk kecil melingkar di belakang leher, pria kelahiran Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu itu berkeliling menjajakan pempek dagangannya.

Di usia yang telah senja, jelas sekali jika Guntur terasa keberatan saat memanggul rantang besar berisi kudapan khas nusantara tersebut.

Peluh tampak membasahi wajah keriputnya, menandakan Guntur sangat lelah berkeliling menjajakan dagangannya di tepi jalan.

Tangan kanannya tampak sigap, meraih botol plastik berisi minum yang dibawa guna melepas dahaga. Maklum, siang itu sedang terik-teriknya.

Namun, semua itu sirna ketika pembeli menghampiri pria kelahiran 1963 tersebut.

"Pempek pak pakai cuka. Harganya satu Rp1.500, ada isi telur, kulit, kates dan lenjer," ujar Guntur saat ditemui di Jalan Ir H Juanda, sekitar Stadion Pahoman, Kota Bandarlampung, Selasa (23-8-2022).

Dengan tangan kanan yang telah keriput, Guntur langsung membuka tutup rantang aluminium itu.

Perlahan, pempek yang telah tertusuk garpu itu, dimasukannya ke dalam mangkok plastik berukuran kecil.

Tak lupa cuka hitam dituangkan dari jerigen ke dalam mangkok tersebut.

Sembari melayani pembeli, Guntur bercerita bahwa dirinya telah berjualan pempek keliling selama 38 tahun. Pasang surut pun sudah dilalui.

"Dari jaman Pak Harto (Presiden Soeharto, red) saya jualan pempek. Sejak usia 21 tahun. Tapi jualannya di Jakarta, kalau di sini (Lampung, red) baru dua tahun," tuturnya.

Sesekali, dia tertawa mengingat masa-masa muda saat berjualan di Jakarta dulu. Kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat.

"Jaman dulu waktu saya muda, enak. Apa-apa serba murah," candanya.

Menurut dia, jelas berbeda keadaan saat ini. Terlebih soal penjualan makanan tradisional.

Mengingat anak muda lebih menggandrungi panganan modern.

"Jadi sepi. Kadang habis kadang enggak. Kadang sampai Magrib masih sisa pempeknya, mau gak mau ya dibawa pulang," katanya.

Dengan begitu, tak banyak pundi-pundi rupiah yang diraupnya dalam sehari.

Terlebih pempek yang dijual itu merupakan milik saudaranya.

"Kerja sama ponakan. Saya yang jualin. Jadi sehari kadang dikasih Rp20 ribu hingga Rp25 ribu sebagai upah jualan," terangnya.

Meski demikian, Guntur mengaku tak pernah putus asa dalam mencari pundi-pundi rezeki.

Sebab yang terpenting dalam hidupnya yakni bersyukur kepada Sang Pencipta.

"Mau dapat berapa aja, mau habis atau gak habis yang penting bersyukur. Kalau bersyukur mudah-mudahan merasa cukup," tuturnya.

"Yang kedua, selalu diberikan kesehatan, karena kalau sakit gimana mau cari uang," katanya sembari tersenyum. (**)






Editor:





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos