MOMENTUM-- Setiap orang harus bekerja keras untuk menggapai tujuan. Apa pun itu. Semangat dalam bekerja wajib tertanam dalam diri.
Namun, kerja keras saja tanpa diimbangi kerja cerdas tentu hasilnya tidak akan maksimal. Sebab, kita hanya terfokus pada hasil. Bukan proses.
Padahal, proses merupakan rangkaian peristiwa penting dalam suatu kegiatan. Hanya saja, kita sering melupakannya.
Dalam tulisan kali ini, saya akan coba menganalogikan dari sebuah cerita si kuli tebang.
Suatu ketika, dia mendapat tawaran dari seorang bos untuk menebang seratus batang pohon. Pekerjaan itu harus diselesaikan dalam waktu sepuluh hari.
Mendengar upah yang dijanjikan cukup besar, si kuli tebang langsung menyanggupi. Dia pun diajak meninjau lokasi penebangan.
Keesokan harinya, si kuli tebang mulai bekerja dengan modal kapak baru pemberian si bos. Dengan kemampuannya, sepuluh batang pohon berhasil ditebang hari itu.
Hari kedua hanya delapan batang. Kemudian tujuh batang di hari ketiga dan begitu seterusnya hingga hari kelima.
Tentu, dengan progres kerja tujuh batang pohon sehari, target kerjanya tidak akan terpenuhi dalam sepuluh hari. Dengan lemas, dia kemudian mendatangi si bos.
Dia menceritakan progres kerjanya yang terus menurun setiap hari. Padahal, tenaga dan metode yang digunakan pada hari pertama sama seperti hari- hari berikutnya.
Si bos menyimak semua curahan hati si kuli tebang. Dia mencermati setiap perkataan yang dilontarkan. Di tengah perbincangan itu, si bos lalu bertanya: sudahkah kau mengasah kembali kapak yang kuberikan?
Mendengar itu, si kuli langsung sadar. Bahwa kapak baru pemberian si bos belum pernah diasah kembali sejak dia terima.
Akhirnya dia bisa memahami, kendala utamanya adalah “ketajaman kapak” yang sudah berkurang drastis karena tak pernah diasah.
Nah, belajar dari cerita singkat ini, kita bisa memahami bahwa si kuli tebang melupakan sisi lain yang sangat penting dalam pekerjaannya.
Sehebat apa pun dia menebang pohon, jika kapak yang digunakan tidak pernah diasah, tentu hasilnya tidak maksimal.
Begitu pun dengan wartawan. Setangkas apa pun dia menulis tanpa pernah mengasah pikiran, tentu hasil karyanya tidak akan pernah meningkat.
Memori otak itu layaknya sebuah teko. Harus sering diisi supaya kapasitasnya tetap terjaga. Kalau kosong, bagaimana mungkin bisa mengisi gelas dengan air?
Pun begitu dengan wartawan. Terutama penulis kolom yang masih belajar seperti saya. Pikiran harus sering diasah. Entah itu dengan cara berdiskusi, membaca, atau menonton video yang bermanfaat.
Jika tidak, jangan pernah menyalahkan kapak tumpul yang tidak terasah atau teko kosong saat akan digunakan.
Tabikpun. (*)
Editor: Harian Momentum