MOMENTUM--Belakangan, Lampung sedang dihebohkan dengan dugaan korupsi dana participating interest (PI) migas. Pengelolaan dana itu dilakukan oleh PT Lampung Energi Berjaya (LEB), anak perusahaan Lampung Jasa Utama (LJU).
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung pun telah memeriksa berbagai saksi yang terlibat. Mulai dari petinggi LEB dan LJU hingga pejabat Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Provinsi Lampung.
Kejati juga menyita uang tunai dengan total miliaran rupiah, kendaraan sampai jam tangan mewah. Anehnya, belum ada tersangka yang ditetapkan dalam kasus dugaan korupsi tersebut.
Itu semua mengingatkan saya pada beberapa kasus yang ditangani Kejati Lampung. Contohnya, kasus dugaan korupsi dana hibah KONI Lampung. Sudah bertahun-tahun lamanya, tapi seakan-akan kasusnya jalan di tempat.
Walaupun, puluhan saksi sudah diperiksa. Dua orang sudah ditetapkan tersangka. Tapi tidak ada perkembangan lagi.
Bahkan, sekarang kasusnya pun terkesan mandek. Belum lagi ada kabar beritanya. Padahal sudah hampir setahun.
Selain KONI, ada juga kasus dugaan korupsi perjalanan dinas DPRD salah satu kabupaten tahun 2021. Bahkan, sempat ada kejadian yang mengundang gelak tawa serta kecurigaan banyak pihak.
Bagaimana tidak. Saat itu, kejaksaan mengundang awak media untuk ekspos kasus. Usai ekspos, banyak media yang sudah menaikkan beritanya.
Tapi, tak berselang lama, ada permintaan untuk menarik berita yang sudah diekspos.
Beginilah isinya "Mohon ijin rekan-rekan media, atas perintah pimpinan terkait dengan Konfrensi Pers tadi siang jangan dulu dinaikin beritanya dikarenakan terkait dengan kondusivitas daerah. Mohon kesediaan rekan-rekan yang sudah tayang beritanya untuk ditarik kembali, atas kerjasamanya saya ucapkan terimakasih. Mohon kerjasamanya ya rekan-rekan media".
Lucu bukan? Hahaha. Malah, sekarang kasus itu tak ada perkembangannya.
Alasannya, karena sudah mengembalikan kerugian negara. Makanya kasusnya terkesan ditutup. Tak ada kejelasan.
Dari dua kasus di atas, publik pun meragukan kinerja Kejaksaan Tinggi Lampung.
Pers di Lampung pun seakan dijadikan alat oleh salah satu lembaga penegakkan hukum itu. Alat untuk mencapai "sesuatu".
Alat untuk menakut-nakuti. Alat untuk membuat kesepakatan dan sebagainya.
Stigma itulah yang kini telah berkembang setelah melihat kinerja Kejati Lampung.
Mau sampai kapan stigma itu terus berkembang? Tentunya semua tergantung dari Kejati untuk mengembalikan citranya.
Pastinya jangan hanya menjadikan pers sebagai alat. Karena pers bukan alat! Tabik.
Editor: Agung Darma Wijaya