Sederet Faktor Penyebab Partisipasi Pemilih Rendah, Salah Satunya Politik Uang

img
Pengamat Politik dan Akademisi UML, Candrawansah. Ist

MOMENTUM, Bandarlampung--Partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Bandarlampung mengalami penurunan drastis.

Padahal, partisipasi dalam pemilihan sangat penting untuk menentukan pemimpin.

Namun, terdapat faktor yang menjadikan sebab musabab partisipasi pemilih menurun di Kota Tapis Berseri.

"Menurut saya rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah disebabkan oleh berbagai faktor, baik struktural maupun kultural," kata Pengamat Politik dan Akademisi Universitas Muhammadiyah Lampung (UML), Candrawansah, Rabu (4-12-2024).

Ketidakpercayaan terhadap proses politik, menurut Candrawansah menjadi faktor kuat penyebab penurunan partisipasi pemilih.

"Banyak masyarakat merasa bahwa hasil pemilihan kepala daerah tidak membawa perubahan nyata dalam kehidupan mereka. Kemudian, ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu atau tuduhan manipulasi hasil suara dapat mengurangi semangat untuk berpartisipasi," jelasnya.

Selain dari pada itu, menurut Candrawansah, kurangnya kesadaran politik juga menjadi bagian faktor penyebab turunnya tingkat partisipasi. 

"Pendidikan politik masyarakat yang kurang menyebabkan mereka kurang memahami pentingnya Pilkada dalam menentukan masa depan daerah. Padahal sekali lagi, pemilihan kepala daerah itu dengan sistem suara terbanyak," tegasnya.

Selanjutnya, kata Candra, bisa jadi karena kandidat yang tidak menarik bagi masyarakat. Jika kandidat yang maju dianggap tidak kompeten, tidak memiliki integritas, atau tidak mewakili aspirasi masyarakat, banyak pemilih yang menjadi apatis. 

"Prinsip mereka terkadang, milih dan tidak memilih sama saja," ujarnya.

Menjadi poin penting, ialah pengaruh politik uang. Praktik politik uang memang menciptakan persepsi negatif tentang pemilihan kepala daerah. 

Sebagian masyarakat merasa suara mereka hanya dihargai sebatas materi, bukan kepentingan jangka panjang. Tapi, fenomenanya, pada pilkada kali ini karena tidak ada yang membagi uang atau sembako, mereka (rakyat) tidak mau ke TPS dikarenakan suara mereka tidak dianggap. 

Berdasarkan investigasi wartawan harianmomentum.com, salah satu warga Bandarlampung mengungkapkan, satu keluarganya tidak memcoblos lantaran tak mendapat serangan fajar dari calon yang ada.

Bisa disimpulkan, pada Pilkada 2024 ini praktik politik uang menurun dan tingkat partisipasi masyarakat pun ikut menurun.

Menyikapi hal itu, Candrawansah menjelaskan, sejatinya penyelenggara pemilu sangat krusial dalam penentuan partisipasi, karena sosialisasi di tengah masyarakat harus masif agar pemilih memahami penting partisipasi pemilih dalam menciptakan demokrasi yang substantif. 

Kemudian, partai politik sebagai garda terdepan harus turut memberikan pendidikan politik di tengah masyarakat. 

"Permainan politik uang juga tergantung dari calon dan partai politik, kalau semua calon dan partai politik dapat memberikan informasi dengan maksimal bahaya politik uang serta kesadaran berpolitik menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara, saya yakin masyarakat akan berkontribusi untuk datang ke TPS," jelasnya.

Lalu, pemilih itu sendiri harus menyadari bahwa partisipasi sangat penting karena sebagai penentu siapa yang akan memimpin daerah, lima tahun ke depan bermula dari partisipasi pemilih. 

"Satu suara akan menjadi pembeda untuk menghantarkan calon menjadi pemenang dalam pemilihan, jadi sangat berpengaruh suara masyarakat itu," paparnya.

Dia menyampaikan, tak dapat dipungkiri, bisa jadi karena faktor sosial ekonomi partisipasi menjadi menurun.

Pemilih dari kelompok ekonomi lemah seringkali lebih fokus pada kebutuhan mendesak dari pada ikut pemilihan kepala daerah. 

"Warga yang bekerja di luar daerah atau memiliki mobilitas tinggi mungkin tidak bisa pulang untuk memberikan suara. Apalagi kalau diukur dengan apabila mereka pulang untuk memilih maka akan mengganggu ekonomi mereka," urainya.

Berikutnya adalah kurangnya sosialisasi dan keakuratan data pemilih. 

Candra menyebut, KPU dan pemerintah daerah terkadang kurang maksimal dalam menyampaikan informasi Pilkada, termasuk pentingnya partisipasi dan cara memilih. 

Keakuratan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari partisipasi pemilih. 

"DPT yang tidak akurat atau valid akan sangat berpengaruh kepada partisipasi, misal masih ditemukan dalam DPT orang yang sudah meninggal, pindah domisili, maupun orang yang seharusnya masuk DPT malah tidak masuk. Sehingga ada keengganan masyarakat menggunakan KTP dan memilih di atas pukul 12.00 WIB," sebutnya.

Selain daripada itu, lanjutnya, budaya apatis masyarakat dengan sikap tidak peduli terhadap politik dan pemerintahan berkembang, karena pengalaman masa lalu yang mengecewakan. Seperti janji kampanye yang tidak ditepati oleh calon incumbent. 

"Terakhir, menurut saya bisa juga karena hambatan teknis seperti Lokasi TPS yang terlalu jauh sehingga menghalangi pemilih untuk hadir," tandasnya.

Berdasarkan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dalam Pilkada Kota Bandarlampung, terdapat 786.182 pemilih yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Namun, hanya 409.093 pemilih yang menggunakan hak pilih mereka pada 27 November 2024 lalu. Ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai sekitar 52,03 persen. 

Sementara, untuk partisipasi pemilih Pilkada 2024 tingkat Provinsi Lampung, KPU belum memberikan keterangan. 

Kadiv Sosdiklih dan Partisipasi Masyarakat (Parmas) KPU Lampung, Dedi Fernando juga belum merespon saat dikonfirmasi terkait hal ini.(**)






Editor: Agus Setyawan





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos