MOMENTUM, Bandarlampung--Gubernur Rahmat Mirzani Djausal meminta pemerintah segera memberlakukan larangan dan pembatasan impor tapioka.
Terlebih, 250 ribu ton singkong di Lampung tak terserap oleh pabrik tapioka.
Begitu disampaikan gubernur saat rapat dengar pendapatan (RDP) dengan Badan Legislasi DPR RI, Rabu (25-6-2025).
Selama bertahun-tahun, Pemprov menetapkan harga singkong minimal Rp900 perkilogram. Harga itu membuat pendapatan petani sangat rendah kurang dari Rp1 juta perbulan perhektarenya.
"Setelah desakan dan aksi demonstrasi dari petani, pemerintah pusat menaikkan HET menjadi Rp1.350 per kilogram dengan potongan 15 persen," kata Mirza.
Tentunya, kebijakan tersebut pun sangat disambut gembira oleh petani. Sebaliknya, kebijakan itu justru membuat pabrik-pabrik tapioka merugi karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah.
"Produksi lokal tepung tapioka mencapai Rp6.000 per kilogram, sementara tepung impor hanya Rp5.200 dan bebas pajak. Ini membuat perusahaan tak mampu membeli dari petani dan memilih menutup pabrik," jelasnya.
Meski demikian, dia tetap mendesak perusahaan untuk dapat membeli singkong dari petani.
"Sampai hari ini stok di Provinsi Lampung ada 250 ribu ton dan ini tidak laku karena harganya sedang jatuh," tuturnya.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah segera mengambil langkah konkret, salah satunya dengan menghentikan atau setidaknya menahan impor tapioka.
"Industri dan pertanian ini harus ditata supaya semua tumbuh. Alhamdulillah baru tahun ini juga dikasih pupuk subsidi dan perkiraan kami karena pupuknya sudah disubsidi maka produksi kami naik kira-kira 30 persen," sebutnya.
Terlebih, dalam waktu dekat petani singkong akan melakukan panen raya."Dua bulan lagi ketika petani panen raya ini akan terjadi keributan lagi. Karena banyak perusahaan yang memilih tutup," tuturnya.
Menurut dia, kondisi tersebut dipicu lantaran tidak adanya tataniaga singkong. Sehingga menyebabkan ketimpangan pertumbuhan antara petani dan industri.
Sementara, Ketua Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) Lampung Welly Sugiono mengatakan, harga singkong mengalami penurunan yang signifikat.
Menurut Welly, seharusnya petani menerima harga bersih Rp945 perkilogram, jika mengacu pada harga dasar Rp1.350 yang telah ditetapkan Gubernur Lampung, dengan potongan 30 persen.
Faktanya, para petani hanya menerima antara Rp400 hingga Rp500 per kilogram.
"Banyak petani tidak menjual langsung ke pabrik, tapi melalui lapak. Kami sudah lakukan survei hasilnya petani hanya menerima 400 sampai 500 rupiah," jelasnya.
Dia pun menyoroti permasalahan dalam industri tapioka tidak bisa hanya dilihat sebagai konflik antara petani dan pabrik.
Menurut dia, masalah itu adalah hasil dari kerusakan sistem dalam ekosistem industri tapioka itu sendiri, yang selama ini tidak pernah ditangani secara menyeluruh.
"Setiap muncul masalah, selalu petani dan pabrik yang dibenturkan. Padahal ini bukan persoalan dua pihak saja, tapi seluruh sistemnya yang bermasalah," tuturnya.
Karena itu, PPTTI meminta agar pemerintah pusat segera menetapkan harga singkong secara nasional. Langkah ini dinilai penting untuk menciptakan keadilan bagi semua pelaku di industri tapioka termasuk petani dan pabrik.
"Penetapan harga singkong kami minta diberlakukan secara nasional dan ini harus segera dilakukan agar menciptakan keadilan dan kepastian," kata dia.
Ia juga mengatakan jika impor tapioka mulai terjadi pada tahun 2012 dan dibebaskan bea masuk yang dibebankan oleh perusahaan yang melakukan impor.
"Dari segi bibit kita juga sudah kalah dari segi pemupukan juga tidak maksimal. Kemudian tidak satupun pemerintah itu lounching bibit yang bagus. Sekarang di Thailand per hektar bisa sampai 50 ton kadar pati pasti bisa sampai 23 sedangkan di kita 20 persen sudah alhamdulillah," tutupnya. (**)
Editor: Agung Darma Wijaya