MOMENTUM, Bandarlampung--Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian ekologi spiritual masyarakat di Pulau Sebesi, Lampung Selatan.
Anggota BRIN Wahyu Hidayat mengatakan, riset atau penelitian itu bertujuan untuk melihat bagaimana relasi perilaku keagamaan dan ritual adat istiadat yang bercorak agama.
"Ini berkaitan juga dengan ekosistem dan lingkungan hidup. Termasuk dengan pengurangan risiko bencana, bagaimana secara spiritual perilaku ritual dab keagamaan itu punya dampak atau berpengaruh terhadap lingkungan hidup serta pengurangan risiko bencana," kata Wahyu, Jumat (27-6-2025).
Terlebih, Pulau Sebesi merupakan salah satu kawasan yang memiliki kekayaan ekologi sekaligus kompleksitas sosial-budaya yang tinggi.
"Sebagai pulau yang pernah terdampak langsung oleh letusan Gunung Krakatau 1883, tsunami Selat Sunda tahun 2018 dan aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau, masyarakat Sebesi telah membangun sistem pengetahuan lokal dan spiritualitas yang khas dalam berhadapan dengan risiko alam," jelasnya.
Menurut dia, ekologi spiritual yang memadukan nilai-nilai spiritual, agama dan kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan, muncul sebagai pendekatan alternatif dalam studi keberlanjutan.
"Dalam konteks Sebesi, praktik spiritual dan ritual keagamaan kerap kali tidak hanya dipandang sebagai bagian dari tradisi budaya, tetapi juga sebagai instrumen kolektif dalam menjaga keseimbangan ekologis," paparnya.
Fenomena itu menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana masyarakat memaknai dan mengoperasionalkan ekologi spiritual dalam kehidupan sehari-hari dan dalam respon terhadap tantangan ekologis kontemporer.
Masyarakat memiliki kemampuan eksklusif untuk beradaptasi dan terhubung dengan lingkungan alam. Pada masyarakat Sebesi, terdapat perpaduan antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal yang berfungsi tidak hanya sebagai pedoman etis, tetapi juga sebagai bentuk pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
"Ajaran agama dan kearifan lokal ini mencakup berbagai praktik, seperti ritual penghormatan terhadap alam, pembatasan eksploitasi sumber daya secara tradisional, hingga larangan adat tertentu yang mencegah kerusakan lingkungan," sebutnya.
"Kombinasi ini menciptakan norma sosial yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan pelestarian alam," tambahnua.
Dia mengatakan, kearifan lokal tidak harus merupakan sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas, sebagai hasil dari interaksinya dengan lingkungan alam dan interaksinya dengan masyarakat dan budaya lain.
"Oleh karenanya kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional, di mana kearifan lokal dapat mencakup kearifan masa kini, maknanya juga lebih luas daripada kearifan tradisional," sebutnya.
Selain itu, kearifan lokal juga dapat dibedakan menjadi kearifan kini, kearifan baru, kearifan kontemporer dan kearifan tradisional.
"Dapat pula disebut sebagai kearifan dulu atau kearifan lama. Oleh karena itu, penelitian ini penting dilakukan untuk menggali bentuk, peran, dan potensi ekologi spiritual di Pulau Sebesi sebagai basis pengembangan kebijakan lingkungan yang lebih kontekstual, partisipatif, dan berkelanjutan," tuturnya.
Penelitian itu diharapkan dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk ekologi spiritual yang hidup dalam masyarakat Sebesi serta perannya dalam kehidupan sosial dan lingkungan.
Lalu, mengeksplorasi sinergi antara nilai-nilai agama (Islam dan kepercayaan lokal) dan kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian ekosistem Pulau Sebesi.
"Merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis ekologi spiritual sebagai pendekatan inovatif dalam menghadapi persoalan lingkungan di wilayah kepulauan," jelasnya. (**)
Editor: Agung Darma Wijaya