Harianmomentum--Sulit untuk
mengatakan penundaan persidangan Basuki Purnama (Ahok) dalam kasus penisataan
agama bukanlah hasil konspirasi para penegak hukum.
Berawal dari surat Kapolda
Metro Jaya, Irjen Pol M Iriawan, yang meminta PN Jakarta Utara menunda sidang
lanjutan perkara penistaan agama dengan terdakwa Ahok hingga setelah
pencoblosan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.
Surat permintaan tertanggal 4 April 2017 itu "dikabulkan" hari ini
setelah Jaksa menyatakan belum siap membacakan tuntutan. Majelis Hakim pun
menunda pembacaan tuntutan terhadap Ahok menjadi tanggal 20 April, sehari
setelah hari pencoblosan Pilkada Jakarta.
Sekretaris Jenderal Jaringan Aktivis ProDem, Satyo Purwanto, menyebut surat
permintaan dari Kapolda, walau beralasan demi antisipasi gangguan keamanan
jelang Pilkada DKI Jakarta 2017, patut diduga sebagai bentuk intervensi
kepolisian ke lembaga peradilan.
"Hal ini tidak bisa dibiarkan, Kapolri Tito Karnavian wajib memberikan
teguran bahkan sanksi. Propam Polri mesti memeriksa Kapolda Metro Jaya mengenai
penerbitan surat permintaan itu. Kapolda Metro Jaya bisa dikatakan terlibat
dalam politik praktis dan bisa dianggap mengacaukan sistem
peradilan," kata Satyo dikutip RMOL.co,
Selasa sore.
Tindakan Kapolda itu juga berisiko merusak citra Polri sebagai institusi
profesional, mengingat Ahok adalah Cagub yang diusung partai penguasa dan surat
itu dinilai sebagai upaya untuk menyelamatkan Ahok dari jeratan hukum.
"Komisi III DPR RI dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mengawasi
Polri dan Lembaga Peradilan dapat segera memanggil pimpinan Polri, Jaksa Agung,
Menkumham, Ketua MA, JPU, Majelis Hakim dan Ketua PN Jakarta guna dimintakan
klarifikasi," kata Satyo.
Penundaan sidang dengan alasan JPU tidak siap membacakan draf tuntutan hampir
tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Peradilan ini bisa dikategorikan 'Peradilan Sesat', sangat melukai rasa
keadilan dan mencoreng sistem peradilan di Indonesia," ucapnya.(red)
Editor: Harian Momentum