Harianmomentum.com--Widya Krulinasari (32), oknum dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) divonis satu tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Negri Kelas IA Tanjungkarang menyatakan terdakwa bersalah, melakukan tindak pidana penipuan dalam hal jual beli bangku kuliah pada penerimaan mahasiswa baru.
"Berdasarkan fakta-fakta persidangan, terdakwa terbukti secara sah bersalah, melakukan tindak pidana penipuan," kata Hakim Ketua, Syamsudin.
Menurut hakim, terdakwa terbukti melanggar Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan.
"Atas perbuatannya, majelis hakim sepakat menjatuhkan hukuman selama satu tahun penjara terhadap terdakwa," ucap Syamsudin dalam amar putusannya.
Menanggapi putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Adi Putra Graha dan terdakwa Widya menyatakan pikir-pikir.
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim terlebih dahulu membeberkan hal-hal yang memberatkan serta meringankan hukuman terdakwa.
Menurut hakim, yang memberatkan terdakwa yakni telah meresahkan masyarakat dan menyebabkan kerugian materil saksi korban Richard Parlindungan Sagala hingga Rp110 juta.
"Selain itu, belum ada perdamaian antara saksi Richard dan terdakwa," jelas hakim.
Sementara hal yang meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan menyesali perbuatannya. Kemudian terdakwa merupakan tulang punggung keluarga.
"Selain itu, terdakwa punya itikat baik dengan mengembalikan uang kerugian saksi Richard Parlindungan Sagala sebesar Rp240 juta dari total kerugian Rp350 juta," kata hakim.
Diketahui putusan itu lebih ringan dari tuntutan JPU. Sebelumnya, JPU menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun dan delapan bulan penjara.
Diberitakan, peristiwa bermula pada Mei 2017. Saat itu Richard meminta bantuan kepada Francis, keponakannya, untuk mencarikan ”orang dalam” agar YS bisa diterima di Fakultas Kedokteran (FK) Unila.
"Tujuannya untuk membantu agar anaknya bisa lulus SBMPTN 2017 di Kedokteran Unila. Francis kemudian menghubungi terdakwa yang juga dosen Unila," kata JPU dalam dakwaannya.
Saat diminta bantuan inilah, lanjut JPU, terdakwa menyanggupi dengan syarat adanya mahar sebesar Rp 350 juta.
"Awalnya ia meminta uang panjar sebesar Rp2 juta," ujar JPU.
Kemudian tanggal 8 Mei 2017, Richard mentransfer uang DP tersebut. "Tiga hari kemudian terdakwa meminta lagi uang Rp3,5 juta sebagai tanda jadi," terangnya.
Selanjutnya pada 12 Mei 2017, terdakwa meminta Francis membawa keluarga korban. "Tujuannya untuk meyakinkan bahwa terdakwa adalah dosen Unila dan bisa menjamin korban lulus SBMPTN 2017," kata JPU.
Padahal, sambung JPU, berdasarkan Surat Keputusan Rektor Unila 186/UN26/DT/2017, terdakwa tidak memiliki wewenang atas penerimaan mahasiwa baru Unila tahun 2017.
"Tapi terdakwa bisa meyakinkan untuk bisa meluluskan anak korban," ujarnya.
Kemudian, korban menyerahkan uang sebesar Rp 350 juta sebagai syarat bisa diterima.
"Namun, setelah selesai tes SBMPTN pada 13 Juli 2017, nama YS tak ada dalam daftar mahasiswa yang diterima di Fakultas Kedokteran Unila," tuturnya.
Anehnya, YS malah diterima di Fakutas Pertanian Unila.(acw).
Editor: Harian Momentum