Selamat Hari Bahagia dan Cemas

img
Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum

MOMENTUM--Libur panjang telah usai. Buku-buku dibuka kembali, seragam disetrika, dan anak-anak bersiap masuk sekolah. Para orang tua menyambut dengan dua ekspresi: Bahagia dan cemas. 

Ya, bahagia karena rumah kembali tenang. Namun, juga cemas... karena PR utama belum selesai. Bukan PR Matematika atau Bahasa Inggris, melainkan PR paling besar: Mendidik anak menjadi manusia.

Sekolah, dalam banyak imajinasi orang tua, adalah tempat suci di mana anak belajar menjadi pintar, baik, dan beradab. Tapi kenyataannya? Kadang seperti pabrik tahu bulat: gurih-gurih otak, tapi kurang rasa hati. Guru mengajar, tentu. Tapi sebatas halaman buku. Soal etika, sopan santun, moral, ah... itu urusan rumah. Sekolah hanya menyuplai pengetahuan, tidak mendidik kebijaksanaan.

Padahal kita tidak sedang mencetak robot olimpiade, melainkan manusia. Yang tidak hanya bisa menghafal Pancasila, tapi juga mempraktikkan sila kedua tanpa disuruh. Tapi hari ini, banyak orang tua mengeluh. Teman saya sekantor bercerita dengan muka campur aduk: marah, sedih, dan sedikit bingung. Anaknya—kelas tiga SMP, dan satunya sudah masuk dunia kerja—berani berkata kasar kepadanya. Kalimat yang seharusnya tak keluar dari mulut siapa pun, apalagi dari anak yang katanya “berpendidikan”.

Ironi. Anak itu termasuk pelajar yang berprestasi di kelas. Hafal nama-nama ilmuwan dunia, sampai dengan tanggal lahir dan karyanya. Tapi tak tahu bagaimana berbicara yang sopan. Ini bukan kasus tunggal. Banyak anak sekarang hebat dalam soal ujian, tapi lulus uji karakter? Belum tentu. Mereka bisa menulis cerpen bertema "kasih sayang orang tua", tapi di dunia nyata, justru membentak ibunya hanya karena WiFi lemot.

Sekolah seharusnya menjadi taman tempat tumbuhnya manusia seutuhnya—yang cerdas otaknya, bersih hatinya, dan halus bahasanya. Tapi kadang, sekolah terlalu sibuk mengejar akreditasi dan ranking. Lupa bahwa yang terpenting bukan nilai rapor. Melainkan nilai hidup. Guru seharusnya tidak hanya mengajar, tapi juga menjadi teladan. Sekolah tak cukup hanya mengisi kepala, tapi harus menyentuh jiwa.

Kita tidak butuh lebih banyak anak pandai, tapi lebih banyak anak baik. Tidak hanya lulusan dengan nilai sempurna, tapi juga yang tahu arti meminta maaf dan berterima kasih. Pendidikan karakter bukan mata pelajaran tambahan. Ia harus menjadi napas setiap proses belajar, dari gerbang sekolah hingga halaman belakang.

Senin ini, 14 Juli 2025, anak-anak kembali ke sekolah. Semoga kali ini, mereka tidak hanya belajar untuk pintar, tapi juga belajar untuk menjadi manusia. Dan semoga, sekolah mengingat bahwa tugas mulia mereka bukan hanya mencetak sarjana, tapi membentuk pribadi. Karena dunia ini tak akan rusak oleh orang bodoh, tapi oleh orang pintar yang kehilangan adab. Tabik.... (*ai*)

Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum






Editor: Muhammad Furqon





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos