Pihak yang Tidak Akui Pemerintahan Sah Merupakan Pengkhianat Bangsa

img
ilustrasi. Pemilu 2019

MOMENTUM, Jakarta--Salah satu keputusan Ijtima’ Ulama IV pada tanggal 5 Agustus 2019 adalah tidak mengakui pemerintah yang terpilh sebagai hasil pemilihan umum yang lalu. Berdasarkan konstitusi, hal tersebut merupakan pelanggaran hukum  karena bertentangan dengan undang – undang dasar 1945. 

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu adalah tidak ada kecualinya.

Pada pasal tersebut telah sangat jelas dan tegas. Bahwa setiap warga negara harus mengakui, menghormati dan mendukung pemerintahan yang sah yang terbentuk dan dipimpin oleh presiden yang terpilih dalam Pemilu presiden. Pemilihan umum Presiden mendapat legitimasi kuat karena dilaksanakan oleh komisi Pemilihan Umum dan diawasi oleh Badan Pengawas Pemlu.

Sebagai penyelenggara Pemilu yang memperoleh kewenangan  dari undang – undang yang berlaku. Pihak yang kalah dalam Pemilu mempunyai berbagai upaya hukum yang disediakan oleh undang – undang apabila mereka merasa tidak puas terhadap keputusan KPU.

Ijtima Ulama 4 juga masih saja menganggap Pemilu 2019 penuh kecurangan secara terstruktur, sistematis, masif dan brutal. Ijtima juga membahas kerusuhan Mei dan kematian 500 petugas Pemilu.

Kemudian dalam poin putusan yangg pertama berbunyi ‘Menolak kekuasaan yang berdiri atas dasar kecurangan dan kezaliman serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut.

Puncak upaya hukum tersebut adalah gugatan melalui Mahkamah Konstitusi. Karena MK bersifat final and binding, tentu tidak ada alasan lagi baik siapapun bagi warga negara yang baik untuk tidak mengetahui dan mengakuinya.

Tentunya tidak semua pihak dapat merasa senang dengan apapun keputusan MK, sehingga tak patut kiranya apabila putusan MK dijadikan bahan untuk memfitnah dan menghujat, apalagi masyarakat dapat memantau melalui layar televisi, sehingga dalam persidangan tersebut tidak ada yang ditutupi.

Majelis Hakim MK tentu telah berijtihad dan berusaha sedemikian rupa untuk mengambil putusan dalam perkara ini yang harus mendasarkan pada fakta yang terbukti.

Apabila merujuk pada Pasal 27 ayat (1) konstitusi kita, pihak yang tidak mengakui pemerintah yang sah tersebut berarti telah melakukan pelanggaran hukum yang serius dan tentu saja sebagai konsekuensinya, pihak yang berwenang dapat melakukan penindakan hukum terhadapnya.

Selain itu apabila terdapat anggota DPR dan DPRD yang terhasut untuk tidak mengakui pemerintahan, tentu pihaknya tdak berhak mendapatkan gaji. Kalau pemerintah saja tidak diakui, otomatis kementeriannya pun tidak diakui dan dianggap tidak sah. 

Mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan bahwa semua tahapan Pemilu 2019 telah selesai dilaksanakan, tinggal menunggu pelantikan Presiden dan Wakil Presiden untuk Periode 2019 – 2024.

Ia juga menyampaikan bahwa Presiden dan Wakil Presiden terpilih haruslah diakui oleh semua warga negara. Terlebih pemimpin yang terpilih itu lahir dari Pemilu yang sah penyelenggaraannya.

Pakar hukum tata negara tersebut juga mengakui pemimpin yang dipilih rakyat adalah satu – satunya jalan yang harus ditaati setiap warga negara. Menurutnya tidak ada alasan lagi untuk tidak mau menaatinya, dan mengakui Presiden dan wakil Presiden yang telah terpilih.

Sebelumnya, Hasil Ijtima Ulama IV yang dibuka oleh Pentolan FPI Habib Rizieq adalah: Menolak kekuasaan yang berdiri atas dasar kecurangan dan kezaliman serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut.

Putusan ini tentu menunjukkan bahwa Ijtima Ulama gagal move on, apalagi jika dirinya masih saja menggembar – gemborkan isu terkait kecurangan, padahal sengketa Pilpres sudah sampai pada MK, tidakkah mereka menyaksikan langsung bagaimana proses jalannya sidang waktu itu?

Selain itu, terdapat pula putusan tentang NKRI syariah yang berdasarkan Pancasila, dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi agar diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Putusan tersebut tentu menunjukkan bahwa Ijtima hanya ingin Indonesia menjadi negara sesuai dengan keinginannya, padahal tidak semua ulama mengatakan NKRI harus bersyariah.

Ideologi Pancasila telah mampu mengakomodasi sendi – sendi kehidupan bangsa, Pancasila tanpa embel – embel syariah telah memberikan kebebasan yang seluas – luasnya kepada para penganut agama apapun agamanya untuk senantiasa beribadah sesuai dengan keyakinannya masing – masing.(**)

Oleh : Indah Permatasari. Penulis adalah pengamat sosial politik






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos