MOMENTUM, Jakarta--Saat terjadi kerusuhan di Papua tanggal 19 Agustus kemarin, Teguh Arifiyadi geram bukan main. Pasalnya ia gagal berangkat ke Sorong untuk mengajar sebuah lembaga di sana. Setelah memastikan semua informasi yang dikumpulkan valid, penggagas Indonesia Cyber Law Community itu memutuskan untuk menunda keberangkatan sambil memantau situasi.
Perayaan kemerdekaan 17 Agustus dua hari sebelumnya, agak sedikit ternoda dengan kejadian ini. Berawal dari salah paham antara kepolisian dan mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, banyak sekali informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Informasi yang dibagikan di grup whatsapp, media sosial, dan media konvensional lainnya banyak yang tidak lengkap perihal situasi terkini Papua.
Laki-laki berkacamata yang juga mantan Komandan Cyber Drone 9 Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kominfo) itu mengimbau kepada followernya di media sosial agar menahan diri untuk tidak membagikan dan mengomentari informasi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua. Menurut Magister Hukum Ekonomi Universitas Indonesia itu, sikap untuk tidak membagikan informasi sensitif adalah bagian dari etika berinternet. Informasi yang benar, belum tentu baik untuk konsumsi publik di saat suasana sedang genting.
Apa Itu Cyber Drone 9?
Sebagai benteng terakhir siber Indonesia, pusat kendali yang dipimpin oleh Teguh tetap beroperasi meski kantor libur. Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan atau provokasi di internet yang dapat memicu terjadinya kekerasan masif ataupun ancaman teror di masyarakat
Misalnya saat libur panjang Idul Fitri pada bulan Juni lalu, jika lalu lintas kendaraan selama lebaran dilaporkan lancar dan relatif aman, lalu lintas konten internet yang terpantau tetap padat merayap. Hoaks dan berita fitnah masih menjadi konsumsi warga net yang lapar akan informasi terbaru.
Dalam dunia digital, penyebaran hoaks atau berita bohong tidak bisa dihindari lagi. Hoaks dalam dunia politik, sudah menjadi bagian strategi yang dimanfaatkan untuk meraih simpati pemilih. Sebenarnya orang yang rajin menyebarkan permusuhan dan hoaks di media sosial jumlahnya tidak banyak. Hanya saja keberadaan mereka itu sangat berisik di dunia maya.
Jika konten di internet sudah mengarah ke fitnah dan provokasi, hal tersebut menjadi domain tim penegak hukum. Adapun Cyber Drone 9 hanya memastikan agar konten semacam itu bisa diminimalisasi penyebarannya sebab konten yang terlanjur beredar di internet mustahil untuk dibersihkan.
Cyber Drone 9 merupakan sistem baru yang dimiliki Kominfo. Sistem ini menggantikan sistem Trust+ yang digunakan untuk memblokir konten negatif di internet. Teguh Arifiyadi, Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kominfo, mengatakan sistem ini dapat melawan konten negatif secara cepat. Fitur kecerdasan buatan Aritifical Intelligence (AI) di sistemnya membuat kerja mesin sensor internet jadi serba otomatis.
Dengan tim berjumlah 58 orang yang bekerja 24 jam, sistem yang terletak di lantai 8 Gedung Kominfo itu melakukan crawling konten negatif mulai dari IP filtering, hosting, URL atau dari konten yang melanggar aturan. Cyber Drone 9 terdiri dari dua ruang utama, Security Operation Center (SOC Room) dan War Room.
Ibarat sebuah dapur, SOC Room adalah tempat memasak dan mengolah semua aktivitas pemantauan dan pengendalian terhadap konten negatif. Sedangkan War Room lebih mirip ruangan untuk mengambil keputusan sekaligus verifikasi kembali keputusan yang telah diambil sebelumnya.
Sistem yang memantau aliran data secara real time itu membantu tim untuk memberikan informasi dari jutaan situs dan akun media sosial penyebar pornografi, perjudian, penipuan, persekusi, hoaks, dan ideologi radikal dengan waktu yang sangat cepat sekitar 5 menit sampai 10 menit. Adapun keputusan untuk “membunuh” situs tersebut tidak sepenuhnya dilakukan sistem, tetapi masih berada di tangan manusia sebagai eksekutor terakhir sebab Cyber Drone 9 tidak dilengkapi senjata pembunuh akun dan situs internet.
Cara Kerja Cyber Drone 9
Langkah pertama yang dilakukan oleh sistem yaitu dengan memasukkan kata kunci pencarian. Mesin sensor pemburu kemudian melakukan pencarian sesuai kata kunci untuk menarik jutaan situs dan konten media sosial.
Crawling konten negatif yang ditemukan lalu dilempar ke mesin pendamping untuk menguji relevansi terhadap kata kunci. Pengurutan hasil pencarian berdasarkan dampak juga dlakukan oleh mesin pencari itu berdasarkan tingkat viralnya. Semakin viral maka konten negatif itu akan dianggap berbahaya oleh mesin dan ditempatkan dalam urutan paling atas.
Setelah proses penghitungan dampaknya, mesin akan menangkap layar konten yang terciduk oleh mesin pencari. Hasil tangkapan layar itu kemudian dikirim kepada tim verifikator sekaligus anggota tim Cyber Drone 9 untuk menentukan kepantasan sensor oleh pemerintah.
Dalam sebuah kesempatan, Tim Cyber Drone 9 memasukkan satu kata kunci ke system. Hasilnya, mesin pemburu menemukan 1,2 juta situs porno dan 200 ribu website yang terjaring. Namun setelah dikonfirmasi kembali, situs yang dikategorkan sebagai pornografi hanya berjumlah 959.547 buah, ratusan ribu sisanya tidak terbukti sebagai situs pornografi.
Teguh mengungkapkan jika pelanggaran konten negatif hampir terjadi di semua platform media sosial. Meskipun Cyber Drone 9 ini beroperasi untuk mengawasi pergerakan internet Indonesia namun tidak ada jaminan bahwa semua media sosial bersih dari konten yang menyeleweng tersebut.
Kominfo punya prinsip tidak ingin mewariskan sifat labil, tidak berakhlak, mudah dijajah teknologi budaya asing, dan kurang bermoral agama pada generasi internet. Kominfo rela dianggap sebagai instansi yang mematikan kreativitas anak muda daripada dianggap salah karena tidak melakukan apapun untuk mempengaruhi karakter penerus bangsa.
Selain untuk melindungi karakter anak-anak, pemblokiran konten negatif ini adalah salah satu cara untuk mengamankan kepentingan pembangunan nasional. Agar perencanaan yang sudah dilakukan pemerintah selama ini berjalan sesuai timeline dan tidak terganggu oleh kabar yang tidak sesuai fakta.
Sebagai masyarakat Indonesia yang cinta damai, tentu kita berharap kejadian kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu karena kesimpangsiuran informasi tidak terjadi lagi. Oleh karenanya sangat tepat jika Kominfo akhirnya memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat sebagai upaya pencegahan agar kerusuhan tidak semakin meluas.(**)
Oleh : Rosyid Bagus Ginanjar Habibi
Editor: Harian Momentum