MOMENTUM, Bandarlampung--Selama ini Organisasi Papua Merdeka atau OPM disebut sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Tapi kini status itu mulai dipertimbangkan oleh pemerintah untuk dinaikkan menjadi gerakan teroris.
Hal ini dinilai OPM sudah sering melakukan aksi teror yang merongrong kedaulatan NKRI. Pemberontakan yang dilakukan OPM pun berulang kali terjadi dan menimbulkan banyak korban dari penduduk sipil maupun militer. Bahkan OPM juga berupaya terus menggalang dukungan ke luar negeri.
Jika dilihat dari bentuk gerakan dari aktifitasnya, OPM sudah bisa dikatakan pemberontak karena melakukan perlawanan senjata untuk tujuan-tujuan politik, pemisahan terhadap pemerintahan yang sah. Namun untuk dinaikkan menjadi status pemberontak dalam versi hukum internasional masih lah belum.
Dalam hukum internasional, dianggap teroris atau pemberontak bilamana: 1. Menguasai wilayah yang cukup banyak; 2. Dapat dukungan luas dari mayoritas rakyat wilayah tersebut; 3. Punya kemampuan penuhi kewajiban internasional.
Oleh karena OPM belum punya wilayah dan dukungan mayoritas masyarakat di wilayah tersebut, maka OPM masih dianggap sebagai gangguan internal dalam negeri Indonesia saja yang harus diselesaikan tanpa campur tangan dari negara asing manapun.
Akan tetapi bila OPM benar-benar sudah teroganisir dengan baik -ada hierarki jelas, mempunyai satu wilayah yang dikuasai, dan dapat dukungan mayoritas masyarakat setempat, maka tentu bisa dianggap sebagai kelompok pemberontak yang diakui dunia internasional tanpa menghiraukan negaranya sendiri mengakui atau tidak status tersebut.
Implikasinya bila itu terjadi, OPM memperoleh kedudukan hak dan kewajiban sesuai negara merdeka selama berlangsung peperangan tersebut. Untuk itu, salah satu alasan kenapa pemerintah enggan menarik militernya di papua dan masih memberlakukan daerah rawan konflik di daerah-daerah tertentu adalah hal ini dilakukan guna mengantisipasi pemberontak menguasai wilayah tertentu.
Istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) itu sendiri disematkan karena pertama, apa yang dilakukan gerakan OPM dianggap sebagai kriminal biasa. Kedua, OPM dianggap sebagai kelompok sporadis bukan organisasi. Ketiga, penyebutan KKB juga untuk menjelaskan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal keamanan di Papua. Secara kewenangan pun berbeda, di pakainya status KKB untuk OPM maka kewenangannya berada di polisi karena dianggap kriminal biasa.
Sedangkan bila statusnya Kelompok Separatis Bersenjata (KSB) maka kewenangannya di bawah kendali TNI. Sehingga selama ini penanganan OPM sepenuhnya ada dibawah komando kepolisian dengan di bantu TNI sebagai mitra.
Sebenarnya tak dinaikkan statusnya OPM pun sudah separatis karena gangguan keamanan selalu saja terjadi sepanjang tahun dan yang dituntut selalu merdeka dari Indonesia.
Implikasi positifnya bila masih ditetapkan sebagai KKB adalah eskalasi sosial politik apapun yang terjadi papua masih disebut tertib sipil sehingga penanganannya tidak sampai represif. Tetapi sisi buruknya adalah operasi penumpasannya tidak bisa agresif tetapi defensif, menunggu ada serangan baru ditindak.
Sedangkan bila status OPM dinaikkan menjadi kelompok separatis. Resiko yang tak terhindarkan adalah pola dan operasi penanganan OPM akan berubah drastis, yakni dari operasi persuasif menjadi operasi represif yang pernah diterapkan di aceh kala itu sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Pendekatan demikian bisa memperburuk keadaan dan justru akan menciptakan kekerasan baru yang menelan lebih banyak korban lagi.
Belajar dari sejarah, penggunaan kekerasan untuk penanganan masalah Papua, terbukti tidak menyelesaikan akar masalah di Papua. Kegagalan masa lalu dalam menangani masalah di Papua selama ini adalah cerminan kegagalan pemerintahan dalam memetakan masalah yang mendasar di Papua.
Perlu pendekatan kompromis dan budaya seperti yang dilakukan ke Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Jalan damai dan kebudayaan terbukti berhasil dilakukan Pemerintah dan GAM dalam menyelesaikan konflik Aceh. Malah dianggap penyelesain konflik bersenjata terbaik di dunia sepanjang abad 21.
Sejauh ini pemerintahan sudah lebih baik dalam penanganan persoalan Papua. Pendekatan pembangunan infrastruktur untuk peningkatan keseimbangan ekonomi antar wilayah dan kesejahteraan masyarakat Papua jauh lebih tepat. Meski tetap berlaku juga pendekatan militer mengingat ada beberapa daerah masih rentan konflik bersenjata.
Tapi bila diperbesar lagi model pendekatan militer justru akan mengacaukan upaya positif dari pemerintahan. Bisa-bisa akan membuat dukungan OPM menguat dan membesar.
Sekali lagi, Papua butuh porsi lebih besar prosperity approach (pendekatan kesejahteraan) daripada security approach (pendekatan keamanan). Butuh lebih banyak perlakuan empati daripada intimidasi terhadap saudara-saudara Papua yang sampai hari ini masih ada hal-hal yang berseberangan dengan pemerintahan pusat.
Untuk itu, status OPM cukuplah KKB dan secara bersamaan pembangunan infrastruktur, Pendidikan, dan penyediaan fasilitas kesehatan terus dipercepat sehingga ketimpangan antar wilayah Indonesia terminimalisir.(**)
Oleh : Almira Fadhillah. Penulis adalah mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gunadarma.
Editor: Harian Momentum