MOMENTUM, Krui--Seharian, saya sangat lelah menjalani aktifitas meliput berita. Terlebih, fokusnya masih soal covid-19. Bosan dan bikin tak tenang. Apa lagi, kali ini yang terjangkit virus asal tiongkok itu, pejabat utama di kantor kabupatenku. Padahal, saya juga sering datang ke kantor itu, untuk meliput berita.
Malamnya, saya benar-benar kembali bisa merasakan kenyamanan. Duduk santai di beranda rumah. Menikmati angin sepoi-sepoi, ditemani secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Ambil handpohone, buka akun medsos. Mantap, mungkin begini rasanya jadi orang kaya..hehehe.. Maklum dah kelamaan dibuat tegang sama corona.
Belum lama menikmati sensasi jadi orang kaya, tiba-tiba semua buyar.
Saya terusik dengan banyaknya komentar yang berseliweran di group medsos dan whatsapp. Hampir seluruh isi group medsos dan whatsapp membahas soal pilkada. Ya, tentunya pilkada di daerah saya--Kabupaten Pesisir Barat.
Bulan Desember mendatang, kabupaten termuda di Provinsi Lampung itu akan menggelar pesta demokrasi. Memilih calon bupati dan wakil bupati, untuk yang kedua kali, sejak terbentuk sebagai daerah otonomi pada tahun 2012 lalu.
Bukan tentang tahapan pilkada yang sedang berjalan yang membuat saya terusik. Juga bukan persaingan langsung para calon kada.
Justru persaingan para pendukung calon kada yang membuat saya terusik. Hampir seluruh isi komentar dalam group medsos dan whatsapp, melulu saling menjatuhkan. Menyerang, menjelek-jelaldkan calon lain.
Sejauh pengamatan saya, calon bupati petahana--Agus Istiqlal yang paling banyak diserang.
Di mata para penyerang itu, sepertinya tidak ada satu pun, hasil kerja sang bupati selama empat tahun yang dinilai baik. Semua buruk. Sampai-sampai, setiap agenda kerja sang bupati pun ikut dikometari dengan nada miring.
Meris saya melihatnya. Kenapa hanya untuk mengejar kemenangan, harus dengan cara mencari-cari keburukan orang lain. Itukah bentuk demokrasi kita. Ah..entah lah.
Bukankah lebih arif, jika bersaing dengan mengedpankan visi misi, tanpa harus menjelek-jelekan calon lain.
Saya terusik untuk meminta tanggapan bupati, terkait komentar-komentar miring itu, melalui pesan whatsapp.
"Saya ini, ibaratnya punya sepuluh jantung. Jadi tidak akan jantungan lagi dengan komentar miring seperti itu," kata bupati Agus Itiqlal menjawab pertanyaan saya.
Menurut bupati, dia tidak akan balas menyerang komenter miring itu. Bahkan, para pendukungnya pun diimbau untuk tidak balas menyerang.
"Masyarakat sudah cerdas dan bisa menilai apa yang sudah saya lakukan selama ini. Jadi tak perlu saya balas menyerang. Kalau saya balas, apa bedanya saya dengan mereka," jelasnya.
Menyimak tanggapan bupati itu, saya teringat dengan pepatah tua masyarakat Lampung. Ngelemoh Lain Haga Patoh, Ngeghedok Lain Haga Pegat. Artinya kira-kira begini: melemah bukan untuk patah, mengencang bukan untuk putus.
Pepatah bijak, yang mengandung makna: Mengalah untuk Menang dengan Tidak Menghacurkan. Kalau kurang tempat arti dan maknya mohon dimaklumi. Sekedar berusaha lebih mencintai dan melestarikan budaya Lampung.
Sekali lagi, salut pada pak bupati yang punya sepuluh jantung untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat.. Tabikpun. (**)
Oleh: Agung Sutrisno Wartawan Harianmomemtum.com
Editor: Harian Momentum