Tarif Tol Bakter, Naik Mencekik!

img
Muhammad Furqon - Dewan Redaksi Harian Momentum

MOMENTUM -- Para pengguna Tol Bakauheni–Terbanggi Besar (Bakter) di Provinsi Lampung tampaknya harus benar-benar menyiapkan batin. Mulai 27 November 2025, tarif baru resmi diberlakukan. Dalam bahasa resmi, kebijakan ini disebut “penyesuaian”. Kedengarannya lembut, sopan, bahkan seolah penuh pertimbangan.

Tapi di lapangan, “penyesuaian” itu lebih mirip kejutan yang bikin jantung berdetak lebih cepat saat tiba di gerbang keluar.

Coba bayangkan sejenak. Anda melintas seperti biasa, tak ada yang istimewa. Lalu tiba-tiba tarif yang harus dibayar melonjak jauh dari angka sebelumnya. Tarif lama saja sudah bikin orang menghela napas panjang. Kini yang sudah mahal itu naik lagi—dan bukan naik sedikit.

Kalau dari seribu perak jadi seribu lima ratus mungkin tidak terasa. Tapi kalau harus nambah Rp70 ribu sampai Rp100 ribu? Rasanya wajar jika sopir truk pengangkut hasil bumi spontan mengeluarkan “doa-doa pendek” di balik kemudi.

Sebagai contoh. Untuk kendaraan Golongan I, tarif tol Bakauheni Selatan–Terbanggibesar naik dari Rp183.500 menjadi Rp254.000 alias bertambah sekitar Rp70 ribu. Untuk Golongan II, kenaikannya lebih “menggigit”: Dari Rp284.500 menjadi Rp381.000, alias naik Rp96.500! Tarif tol dari Kotabaru ke Lematang.

Ada yang lagi yang lebih unik dan aneh. Tarif tol dari Kotabaru ke Lematang. Awal dibuka, tarifnya Rp3.500, kemudian naik menjadi Rp5.500, dan pekan ke depan naik lagi menjadi Rp7.500. 

Ironisnya, semua ini berlindung di balik payung undang-undang yang konon dibuat demi melindungi kepentingan publik. Regulasi memang membolehkan penyesuaian tarif setiap dua tahun berdasarkan inflasi dan evaluasi layanan. Namun dalam praktiknya, kewenangan itu terasa seperti cek kosong: tarif bisa naik tinggi tanpa mempertimbangkan kemampuan masyarakat, kondisi ekonomi, atau sekadar rasa empati.

Alasan klasik pun kembali diulang: biaya pemeliharaan, pembangunan mahal, pengembalian investasi. Tetapi publik tentu berhak bertanya: mahal karena apa? Apakah benar setinggi itu? Atau jangan-jangan ada ruang gelap dalam proses pembangunan — markup, pemborosan, atau efisiensi yang tak pernah tuntas?

Terlebih lagi, kualitas Tol Bakter belum juga layak disebut premium. Jalan bergelombang, tambal sulam di berbagai titik, bahkan ada ruas yang membuat pengendara bertanya-tanya apakah mereka masih di jalan tol atau sudah balik ke jalan yang gratis dilewati.

Dengan kondisi seperti ini, kenaikan lebih dari 25 persen terasa bukan hanya tidak wajar, tetapi juga tidak logis. Masyarakat bukan menolak kenaikan, mereka hanya mencari logika, proporsionalitas, dan transparansi. Tanpa itu semua, wajar jika kebijakan ini mendapat penolakan.

Jalan tol seharusnya memberi kenyamanan—bukan membuat penggunanya tersedak dan sesak nafas sebelum mencapai pintu keluar. Tabik. 






Editor: Muhammad Furqon





Berita Terkait

Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos