MOMENTUM, Bandarlampung--Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menghadirkan delapan saksi unsur swasta dan legislator senayan dalam sidang lanjutan perkara suap fee proyek di Kabupaten Lampung Selatan.
Sidang lanjutan dua terdakwa mantan Kepala Dinas PUPR Hermansyah Hamidi dan mantan Kabid Pengairan Syahroni digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang, Rabu (31-3-2021).
Sementara itu, kedua terdakwa mengikuti persidangan secara telekonferensi dari Rutan Bandarlampung.
Delapan saksi yang diperiksa secara bersamaan tersebut yakni Gilang Ramadhan mantan terpidana suap fee proyek atau mantan Direktur PT Prabu Sungai Andalan.
Rusman Effendi Direktur CV Bekas Abadi, Ahmad Bastian Anggota DPR RI, Tulus Martin Direktur PT Aya Pujian.
Kemudian Hartawan Direktur CV Taji Malela, Syaifullah Direktur CV Delima Jaya, Erwan Effendi Direktur PT Bumi Lampung Persada dan Tedi Arifat alias Aat Komisaris PT Bumi Lampung Persada.
Baca Juga: Sidang Suap Fee Proyek, Jaksa Hadirkan Lima Saksi ASN Lamsel
Dalam kesaksiannya, Gilang Ramadhan yang pernah menjadi terpidana suap fee proyek Lampung Selatan mengaku pertama kali ikut pekerjaan setelah dikenalkan kepada Syahroni.
"Saya dapat pekerjaan di Dinas PU Lamsel dari 2016 sampai 2018, awalnya saya dikenalkan dengan Syahroni oleh Risky teman saya," ujar Gilang.
Gilang mengatakan, saat itu Syahroni hanya pejabat biasa namun memiliki peran strategis di Dinas PUPR Lampung Selatan.
"Risky bilang Syahroni ini yang mengambil kebijakan di PUPR, setelah bertemu dengan Syahroni, saya bilang mau ikut proyek di Lamsel, dan disampaikan dilihat dulu tapi harus komitmen atau setoran," tuturnya.
Gilang memaparkan, setelah pertemuan tersebut diajak Syahroni untuk bertemu dan berkenalan secara langsung dengan Hermansyah Hamidi selaku Kepala Dinas PUPR saat itu.
Baca Juga: Nanang Akui Terima Uang dari Zainudin Hasan
Gilang mengaku mendapatkan sejumlah pekerjaan namun ia tak mengingat lagi jumlah pagu maupun jenis paket pekerjaan yang didapatkan.
"Di tahun 2017, prosesnya sama juga, setoran juga, tapi gak ketemu Hermansyah Hamidi tapi langsung dengan Syahroni, dan saat itu setoran Rp 900 juta, itu 20 persen dari pagu," terang Gilang.
Sementara pada tahun 2018, Gilang mengaku mendapatkan ploting proyek sebesar Rp 25 miliar.
Namun, kata Gilang, saat itu ia diminta Syahroni menemui Agus Bhakti Nugroho dan ia diminta untuk jadi ketua pemuda barisan PAN.
Pada kesempatan tersebut Gilang tidak menjawab permintaan Agus BN lantaran saat itu ia masih bergabung di Partai Nasdem.
Gilang menerangkan, beberapa waktu kemudian Syahroni kembali menghubungi untuk datang bertemu dengan Agus BN di rumah Zainudin Hasan Jalan Bani Hasan.
"Di sana saya dikenalkan bahwa saya masuk PAN, setelah itu saya ngobrol singkat dengan mengenalkan ke Zainudin Hasan," bebernya.
Dari perkenalan itu, Gilang mengaku mendapat tawaran paket proyek dari Agus BN sebesar Rp50 miliar. Namun kemudian turun menjadi Rp25 miliar.
"Untuk koordinasi awal saya diminta setor lima persen oleh pak Anjar Asmara (Mantan Kadis PUPR 2018), tapi saya keberatan dan ditengahi oleh pak Agus BN jadi dua persen, lalu saya setorkan Rp400 juta kepada Sopir Syahroni," bebernya.
Gilang mengungkapkan, menyetorkan semua fee ke terdakwa Syahroni selama mendapatkan proyek dari tahun 2016 hingga 2018.
Gilang mengatakan, fee proyek yang disetorkan dari setiap paket proyek yang didapatkannya adalah sebesar 21 persen dari nilai pagu proyek.
"Jadi ada uang yang untuk pak bupati kadis lalu lain lain. Untuk bupati 10 sampai 15 persen, lalu sisanya Kadis PUPR dan jajaran, lalu panitia lelang satu persen," ujar Gilang.
Kepada JPU KPK Gilang mengatakan, pernah mentransfer uang kepada Syahroni sebesar Rp400 juta pada November 2016. Uang tersebut, kata Gilang, merupakan bagian dari fee proyek yang disetorkan.(**)
Laporan: Ira Widya
Editor: Agus Setyawan
Editor: Harian Momentum