MOMENTUM, Bandarlampung--Menjadi sebuah keberuntungan, menjalani kuliah S3 di luar negeri tentu saja tidak mudah.
Tidak mudah karena harus beradaptasi dengan budaya dan lingkungan yang terkadang sangat berbeda, mengatur waktu dan tentu saja keuangan. Menjadi beruntung karena selain mendapatkan pengalaman baru, kompetensi dalam sebuah bidang ilmu akan semakin bertambah, juga lebih mudah mendapatkan pengakuan tertentu di dunia akademik apabila sudah meraih gelar Doktor.
Dosen Universitas Bandar Lampung (UBL) Program Studi (prodi) Pendidikan Bahasa Inggris, Helta Anggia menjadi salah satu yang beruntung dapat melanjutkan jenjang pendidikan hingga S3 melalui beasiswa Stipendium Hungaricum dari Tempus Public Foundation (TPF) Hungary dengan mengambil program Doctoral School of Education di University of Szeged, Hungary. Beasiswa paling populer di Hongaria ini sudah ada sejak tahun 2016.
Ia menceritakan pertama kali mengetahui tentang beasiswa melalui berbagai link beasiswa internasional yang ada di media sosial. “Saya mendaftar beasiswa ini sekitar 9 bulan sebelum keberangkatan, yang mana proses yang dilalui meliputi seleksi berkas oleh Kemendikbud dan wawancara oleh pihak kampus tujuan kita di Hongaria. Berbagai keuntungan saya dapatkan melalui beasiswa ini antara lain biaya kuliah, biaya kebutuhan sehari-hari, asuransi kesehatan dan biaya konferensi di luar negeri,” terangnya saat diwawancarai via WhatsApp, Jumat (18-2-2022).
Helta juga turut membawa keluarganya ke Hongaria setelah melalui berbagai macam tahapan. Diantaranya, mendaftar visa, test PCR, mencari sekolah untuk anak dan mencari tempat tinggal yang memenuhi syarat membawa keluarga. Ia juga menyampaikan biaya hidup di Hongaria relatif lebih murah dibandingkan negara-negara lainnya di Eropa. Biaya kebutuhan makan untuk keluarga kecil dengan 1 anak bisa mencapai kira kira 2-3 juta rupiah. Namun biaya akomodasi cukup mahal, kira kira 5-6 juta rupiah per bulan. “Beberapa kebutuhan dapur bisa dibeli di pasar tradisional. Bagi penerima beasiswa S3 yang belum berkeluarga, uang beasiswa cukup untuk ditabung untuk keperluan lain seperti traveling dan lain-lain,” tambahnya.
Menyiasati untuk tambahan biaya hidup bersama keluarga, Helta bekerja paruh waktu. “Di Hongaria, mahasiswa penerima beasiswa bisa melakukan kerja paruh waktu, seperti bekerja di pabrik ayam, pabrik pakaian, pabrik roti, pabrik sponge, pabrik elektronik dan lain-lain. Kebetulan saya bekerja paruh waktu di pabrik ayam, saya bertugas memasukkan ayam ke dalam kemasan, mengoperasikan mesin penggiling daging, mencuci rak penampung kemasan ayam dan lain sebagainya. Penghasilan bekerja ini cukup untuk tambahan biaya hidup bersama keluarga dan traveling ala backpacker ke negara-negara Eropa lainnya,” terang Helta.
Ia juga menjelaskan bahwa pekerjaan khusus untuk mahasiswa biasanya didapatkan melalui agensi dan hanya boleh bekerja maksimal 20 jam dalam seminggu. Rata-rata untuk bekerja sambilan per hari waktunya 10 jam sehingga mahasiswa bisa bekerja dua hari dalam seminggu. Lalu 4 hari sisanya digunakan untuk belajar baik di kelas maupun di perpustakaan.
University of Szeged tempatnya menempuh pendidikan memiliki sebuah perpustakaan yang cukup megah dengan jumlah referensi yang sangat banyak baik cetak maupun digital dan merupakan salah satu dari 7 perpustakaan termegah di kampus-kampus Eropa. “Jam buka perpustakaan 15 jam sehari memungkinkan saya untuk mengatur jam belajar dengan leluasa setelah bekerja. Doctoral School of Education di University of Szeged juga menyelenggarakan Research Progress Report setiap minggunya, sehingga saya bisa belajar dari sesama mahasiswa,” ujarnya.
Bekerja sambil berkuliah memberikannya pengalaman kesempatan untuk bergaul dengan masyarakat lokal. “Saya banyak berinteraksi dengan masyarakat setempat pada saat bekerja, saya bisa memahami budaya setempat dan membantu dalam belajar bahasa Hongaria (Magyar) yang merupakan salah satu bahasa tersulit di dunia,” tutupnya.(**)
Editor: Agus Setyawan