Wayang dan Krisis Epistemologis

img
Aqil Husein Almanuri

MOMENTUM, Madura--Baru-baru ini santer dibicarakan pernyataan Khalid Basalamah yang menyebut wayang adalah haram. Dalam video singkat, Khalid Basalamah terlihat menjawab salah satu pertanyaan jamaah mengenai hukum wayang.

Awalnya, Khalid Basalamah membaca salah satu pertanyaan jamaah. Pertanyaan itu berisi tentang hukum memainkan wayang. Tidak hanya itu, disusul pertanyaan selanjutnya, jika wayang memang haram, lantas tobat yang bagaimana yang pas untuk dalang?

Pertanyaan itupun disambut dengan jawaban Khalid Basalamah yang terkesan memandang sinis budaya lokal.

Dia menyebut bahwa wayang tidak boleh dimainkan. Khalid pun menambah, jika di rumah masih ada wayang, musnahkan saja!
Pernyataan pelik ini memang terlihat sangar dan sinis. Meski untuk memakluminya tidak butuh waktu yang lama. Sebab, kita memang sudah paham karakter dakwah Khalid yang memang demikian. Sebagaimana beberapa waktu silam, dia juga mengharamkan musik.

Jelas, pernyataan tersebut mendapat kecaman dari berbagai pihak sekaligus menjadi argumen yang kontradiktif. Utamanya dari para budayawan dan pihak-pihak yang memiliki lakon erat dengan dunia perwayangan.

Beberapa tanggapan muncul, seperti dari Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Eks Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah serta para tokoh budayawan Jawa Timur.

Dalam postingan YouTube channel Vivacoid, tanggal 14 Februari 2022, terlihat para tokoh budayawan Jawa Timur melontarkan kekecewaan. Dalam video tersebut, setidaknya ada beberapa poin yang disampaikan oleh juru bicara.

Pertama, pernyataan Khalid dinilai bertentangan dengan konstitusi, lebih tepatnya pada Undang-undang Nomor 5 tahun 2017 tentang kemajuan kebudayaan. Kedua, Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sejatinya telah menetapkan wayang sebagai warisan budaya manusia.

Jadi, pernyataan Khalid tersebut dinilai kontradktif. Ketiga, tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Keempat, menyinggung banyak pihak, termasuk para budayawan.
Sejurus dengan itu, Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Eks Keresidenan Banyumas, Jawa Tengah  juga merasa geram dengan jawaban tersebut.

Pihaknya juga akan melaporkan Khalid Basalamah ke polisi. Pepadi menilai argumen tersebut justru hanya memperkeruh keadaan dan merupakan sebuah upaya disintegrasi bangsa.
Namun, sebelum pelaporan itu, dilansir dari INewsJateng.id (14/02), Pepadi masih akan memberikan kesempatan kepada Khalid.

Bambang Barata Aji, selalu Koordinator Pepadi wilayah Banyumas Raya akan mencabut niat pelaporan Khalid dengan beberapa syarat.

Pertama, Khalid diminta agar meminta maaf secara terbuka, baik di media mainstream atau media sosial selama 2x24 jam, terhitung sejak Minggu (13/02). Kedua, Dia juga diminta untuk menyaksikan pertunjukan wayang Purwa di Jawa Tengah, wayang Barata di Jakarta, dan mengunjungi industri kerajinan wayang kulit di Yogyakarta dalam waktu 7x24 jam, juga terhitung sejak Minggu.

Ketua Yayasan Dhalang Nawan itu juga mengatakan, jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pihaknya beserta penasihat hukum akan melayangkan laporan ke Bareskrim Mabes Polri pada 1 Maret 2022 mendatang.

Tentu dari kalian yang pernah baca bukunya Aksin Wijaya, Menatap Wajah Islam Indonesia, akan paham bagaimana krisis epistemologis itu lahir. Bagi Aksin, cikal bakal krisis epistemologis bermula dari krisis identitas (yang dalam bahasanya Aksin disebut sebagai krisis peradaban).

Peradaban Arab akan membentuk epistemologis bayani, cenderung pada teks. Peradaban barat akan melahirkan corak epistemologis ilmiyah, yang dalam praksisnya mengkultuskan rasionalitas. Krisis terhadap peradaban itu akan berimbas pada krisis epistemologisnya. Sebab, sebuah peradaban akan membentuk cara pikir orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Cara pikir manusia, secara dialogis, akan selalu berhubungan dengan realitas. Pijakan berpikir mereka akan dibentuk oleh realitas itu sendiri, oleh dunia mereka masing-masing. Jadi, manusia--secara sadar atau tidak--akan dibentuk oleh dunia kehidupannya dari proses yang bertahap dan lama. Hasil dari pembentukan itu, dalam hermeneutika,  disebut sebagai "Pra-pemahaman" (Baca: Menatap Wajah Islam Indonesia hal. 28).

Peradaban Indonesia tentu akan memengaruhi epistemologis masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai hal, seperti; agama, budaya, dan bahkan persoalan seni. Peradaban Indonesia itu juga akan membentuk pra-pemahaman orang-orang yang lahir dan besar di Indonesia.

Jadi kecenderungan sebagian besar warga negara untuk tetap mempertahankan budaya lokal dan meyakininya sebagai hal yang patut dilestarikan adalah berangkat dari pra-pemahaman itu sendiri.

Merupakan sebuah keanehan jika nyatanya orang yang lahir dan tumbuh di negara Indonesia ternyata tidak memiliki gairah mempertahankan tradisi atau seninya. Naifnya lagi, sampai mengharamkan.

Pijakan berpikirnya harus dipertanyakan. Kemungkinan besar, pijakannya dibentuk oleh pemahaman terhadap teks nash yang rigid. Padahal, sebagai warga negara Indonesia, tentu harus bangga dengan identitas ke-Indonesia-an, tanpa mengenyampingkan dua peradaban lainnya (Arab dan Barat).

Pernyataan Khalid tentang wayang memang seolah menafikan identitas keindonesiaannya. Dia hanya menggunakan teks tanpa melihat realitas. Hal itu terbukti dengan salah satu petikan pernyataannya "Harusnya Islam yang kita jadikan tradisi, bukan tradisi yang diislamkan, ini sulit, dan Allah tidak menghendaki itu,".

Dari pernyataan ini, mungkin yang perlu dipahami oleh Khalid adalah mengenai dua dimensi ajaran agama islam yang terdiri dari dimensi normatif dan budaya. Tentu kedua ini berbeda dalam memaknai.

Dimensi normatif itu sifatnya tetap, tidak boleh diubah dan sudah menjadi final, seperti kewajiban shalat dan rakaatnya, puasa dan hal yang membatalkannya, dan lain-lain. Semua negara dan lintas zaman memiliki keyakinan yang sama tentang itu, tidak bisa diubah sebab sudah final.

Beda halnya dengan dimensi budaya, keberadaanya menyesuaikan dengan kondisi tempat dan masa. Seperti halnya kesenian wayang.
Secara historis, setidaknya Walisongo telah membuktikan bagaimana antara Islam dan dimensi budaya bisa diakulturasikan.

Eksistensi wayang sebagai media memperkenalkan dan menyebarkan agama islam sudah dipamerkan oleh sunan Kalijaga. Maka, perlu melihat kembali dan memahami sejarah yang ada.
Tentunya juga untuk memperkuat identitas keindonesiaan dan membentuk pra-pemahaman yang sebenarnya. Sehingga tidak mudah menganggap tradisi kesenian lokal sebagai bid'ah dan haram. Sekaligus, agar tidak mengalami krisis epistemologis

Habib Husein Ja’far juga pernah menyatakan bahwa kebudayaan merupakan lingkup terbesar dari kehidupan manusia, dan agama termasuk di dalamnya. Wallahu a'lam. (**)
(PENULIS: Aqil Husein Almanuri: Mahasiswa Hukum Keluarga Islam IAIN Madura. Alumnus Nasy'atul Mutaallimin Gapura. Aktif di pers activita)






Editor: Munizar





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos