Harianmomentum.com--Bumi Ruwai Jura berduka. Lampung kehilangan salah putra terbaiknya, Sastrawan Lampung, Asaroeddin Malik Zulqarnaen kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
Asaroeddin
dilahirkan di Jakarta pada 15 November 1956 ini meninggal Selasa (17/10) 2017
pukul 18.05 WIB dan akan dikebumikan di TPU
Sukamaju, Telukbetung Barat, Kota Bandarlampung, Rabu (18/10).
Jenazahnya diberangkatkan
dari rumah duka di Jalan RE Martadinata, Sukamaju, Telukbetung Barat, ba'da Dzuhur.
“Lampung
kehilangan salah satu putra terbaiknya. Almarhum merupakan salah satu pioner
dunia sastra Lampung. Kiprah dan jejaknya tak diragukan lagi. Almarhum pernah
menjadi duta Lampung ke Malaka,” ujar Hari Jayaningrat, koreografer yang juga
Kasi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung.
Putra
Lampung yang merupakan salah cucu
pejuang Lampung Wan Abdul Rahman ini dikenal sebagai salah satu cerpenis
produktif pada jamannya.
Kecintaan
Asaroeddin pada dunia sastra bermula sejak dia duduk di bangku SMP. Karya-karya
karangan sastrawan terkenal seperti; Chairil Anwar, WS Rendra, Iwan Simatupang,
dan Asmaraman Kho Ping Hoo sudah mulai dibaca Asaroeddin. Sejak saat itulah,
Asaroeddin mulai berhasrat untuk menjadi seorang penulis.
Ketika
bersekolah di SMA Negeri Telukbetung hasrat menulisnya tersalurkan.
Tulisan-tulisannya menghiasi mading sekolah. Karena sifatnya yang introvet dia
tak menggunakan nama aslinya tetapi menggunakan nama samaran. Hal ini terbawa
ketika Asroeddin menulis di media massa. Dia menggunakan nama pena antara lain;
A.M. Zulqornain Ch, Asroedin MZ, dan Amzuch yang merupakan siingkatn dari
namanya.
Pada
awalnya, Asroeddin menulis puisi, kemudian lebih intens menggeluti cerpen.
Ratusan karya cerpen yang terlahir dari tangannya.Karyanya selain terserak
dalam berbagai buku antologi bersama, karya-karya cerpen terpilihnya terkumpul
dalam buku bertajuk: Semanda, yang diterbitkan Jung
Foundation, Bandar Lampung
Asaroeddin
Malik Zulqornain Ch. sastrawan yang muncul tahun 80-an menulis secara otodidak.
Cerpen
bertajuk “Nomor 289 untuk 5 Menit” merupakan karya pertama yang dimuat di
harian Pelita pada 20 Oktober 1978.
Karya
Asaroeddin Malik Zulqornain Ch berupa; cerita pendek, cerita anak, puisi,
artikel budaya, resensi puisi, essai, dan berbagai berita. Media massa Lampung
dan luar Lampung yang pernah memuat karyanya, antara lain Sinar Harapan,
Pelita, Suara Karya, Simponi, Swadesi, Minggu Merdeka, Berita Buana, Mutiara,
Harmonis, majalah Detektif Romantika, Senang, Humor, Bobo, Kharisma, Variasi,
dan Nova.
Media
daerah yang pernah menerbitkan karya-karyanya adalah, Lampung Post, Radar
Lampung, Lampung Ekpres, Sumatra Post, Trans Sumatra, Waspada (Medan).
Sastrawan
eksentrik ini meskipun, sudah menciptakan ratusan cerpen dan puluhan puisi yang
dipublikasikannya. Tetapi, Asaroeddin ciptakan memilih tidak dikenal oleh redaktur
media mana pun. “Penulis bukanlah sesuatu yang istimewa, karena yang dibutuhkan
masyarakat karyanya, bukan orangnya,” ujarnya suatu kali.
Pada
tahun 1985, bersama Isbedy Stiawan ZS dan Riswanto Umar mendirikan Sanggar Cakrawala Ide
Anak Muda (CIA) yang merupakan wadah sastra dan teater Bandarlampung. Akhirnya,
Asaroeddin beserta Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, dan Isbedy Stiawan ZS
melahirkan antologi puisi yang berjudul Nyanyian Tanah Putih pada tahun 1984
untuk membangkitkan semangat para sastrawan muda.
Bersama-sama seniman lampung lainnya, Asaroeddin turut membidani lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL) pada 17 September 1993 dan menjadi Bendahara pada periode pertama. Jabatan dewan pembina di lingkungan Dewan Kesenian Lampung membuat nama Asaroeddin Malik Zulqornain Ch. tidak asing di telinga para penggiat sastra di Lampung. Pria yang dikenal juga dengan nama Amzuch ditunjuk oleh DKL untuk duduk sebagai Dewan Kehormatan periode 2005—2008.
Asroeddin
memiliki prinsip seperti sastrawan Cahiril Anwar.“Saya bukan siapa-siapa, tidak
ada apa-apanya dan tak pernah jadi apapun. Saya hanya ingin jadi diri sendiri
yang memang hidup hanya untuk menunda kekalahan. Namun sebelum kalah, saya
harus menikmatinya penuh rasa syukur”, ujar Asaroeddin suatu kali. (rls)
Editor: Harian Momentum