MOMENTUM, Bandarlampung-- Wajah Didik tampak lelah, usai mendorong gerobak dagangannya menyusuri jalan belasan kilometer.
Di tengah terik matahari, pria kelahiran 1972 itu tetap bersemangat menjajakan roti dagangannya kepada warga.
Tak tanggung-tanggung, gerobak berwarna biru muda berisi aneka rupa roti tersebut, dijajakannya dari Kelurahan Gunungterang mengitari Jalan Sam Ratulangi hingga Stadion Mini Kalpataru Kecamatan Kemiling.
Baca Juga: Pandai Besi, Riwayatmu Kini
Didik merupakan penjual roti khas tahun 1980-an alias tempo dulu.
Setiap harinya, pria berkulit sawo matang itu mulai menjajakan dagangannya usai azan Zuhur berkumandang.
Sebelum dipasarkan, bapak satu anak itu lebih dulu mengambil roti dari pabrik rumahan yang berlokasi di sekitar Jalan Swadaya, Gunungterang.
Baca Juga: Pengayuh Becak Tergerus Zaman
Pada era moderen saat ini, Didik harus lebih ekstra berusaha guna menjual aneka rupa roti tersebut.
Mengingat, kini banyak beredar merek roti terkenal di pasaran yang menjadi pesaingnya.
Dengan santai dia bercerita, dalam sehari gerobaknya membawa 60 roti yang terdiri dari sebelas macam rasa. Salah satunya berisi kacang hijau dan mesis.
"Tapi, umumnya sehari itu laku 40 roti. Harga satu rotinya Rp5 ribu. Murah kok gak mahal," kata Didik sembari bercanda.
Baca Juga: Puluhan Tahun Bergantung Hidup dari Pempek
Belum lama Didik menekuni pekerjaan sebagai penjual roti itu. Sejak tahun 2020 lalu.
Gerobak yang dibawanya pun dipinjamkan dari pabrik rumahan tersebut.
Meski pekerjaan itu belum terlalu lama dijalaninya, Didik tak sedikit pun canggung saat melayani para pembeli yang menghampirinya.
"Karena sudah terbiasa. Sudah menjadi rutinitas sehari-hari berjualan dari siang sampai azan Isya. Jadi sudah gak canggung lagi nawarin roti ke pembeli," tuturnya saat ditemui di sekitar Jalan Sam Ratulangi, Rabu (24-8-2022).
Dari nada bicaranya, tak ada keluh dari pekerjaannya tersebut.
Meski harus bersaing dengan roti merek ternama yang mudah dijumpai di pasaran.
"Walaupun sekarang sudah banyak roti moderen. Saya gak pernah berkecil hati apalagi patah semangat berjualan roti jadul (jaman dulu, red) seperti ini," katanya.
Sebab, Didik meyakini akan ada jalan keluar dari setiap usaha yang dilakukannya.
Meskipun hanya sebatas berjualan roti tempo dulu alias jadul tersebut.
"Rezeki sudah ada yang ngatur. Yang penting selalu berusaha," kata dia meyakini. (**)