Suharso, Kuli Bangunan Bergelar Profesor

img
Wakil Rektor IV Unila Prof. Suharso yang juga menjadi kandidat bakal calon rektor (bacarek) kampus setempat, saat ditemui di ruang kerjanya

MOMENTUM, Bandarlampung--Sulitnya keadaan ekonomi, terpaksa harus memupuskan cita-cita guna melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Itulah yang dirasakan Prof. Suharso, salah satu kandidat bakal calon rektor (bacarek) Universitas Lampung (Unila), periode 2023 - 2027.

Padahal, cita-cita pria yang kini menjabat Wakil Rektor IV Unila itu, sangat berharap menempuh pendidikan di Fakultas Pertambangan ITB. 

"Setelah lulus SMA (sekolah menengah atas). Cita-cita saya kuliah di Fakultas Pertambangan ITB," kata Prof. Suharso, Selasa (20-12-2022).

Sayangnya, keadaan ekonomi seakan tak mendukung cita-cita tersebut. Sehingga memaksanya untuk mengikuti jejak orang tuanya.

"Karena orang tua tidak mampu dan diminta untuk langsung bekerja. Jadi saya memilih ikut orang tua menjadi tukang (kuli bangunan)," tuturnya.

Layaknya kuli bangunan profesional, Suharso remaja mulai bekerja seperti pada umumnya. Berupa mengaduk semen, mengecat. Bahkan memasang plafon.

"Tetapi, usai bekerja sore hari. Saya mempunyai kebiasaan mengunjungi rumah teman," ucapnya.

Menurut dia, kunjungan itu tak hanya sebagai ajang silaturahmi belaka. Namun untuk mengumpulkan bahan materi hasil bimbingan belajar (bimbel).

"Bahan materi bimbel itu saya kumpulkan, agar dapat dipelajari," katanya.

Sebab, Suharso remaja tak ingin terus-menerus berprofesi sebagai kuli bangunan. Dia berkeyakinan bahwa peluang meraih kesuksesan tetap terbuka lebar.

"Saya terus memikirkan masa depan saya. Hingga muncul tekad untuk menjadi dosen," terangnya.

Alasan itu yang membulatkan niatnya guna melanjutkan kuliah. Meski bukan di Fakultas Pertambangan ITB.

Namun, sulitnya keadaan ekonomi kembali menjadi penghalang. Sehingga tak kunjung mendaftarkan diri di perguruan tinggi. 

"Jadi, seperti biasa saya ke rumah teman untuk mengambil materi bimbel. Saat itu orang tuanya nanya alasan saya belum daftar kuliah," tuturnya.

Seakan mengerti keadaan ekonomi Suharso, orang tua temannya tersebut berinisiatif memberikan uang Rp25 ribu untuk mendaftar ke perguruan tinggi.

"Saya dikasih uang Rp25 ribu. Diminta untuk segera mendaftar kuliah," ujarnya.

Tak hanya itu, orang tuanya pun memberikan Rp10 ribu untuk tambahan daftar kuliah. Bermodalkan uang tersebut, Suharso remaja akhirnya mendaftar di Unila dengan tiga pilihan: Fakultas Pertanian dan Hukum serta Program Studi Kimia.

"Akhirnya, saya diterima di Program Studi Kimia. Disitulah saya mulai belajar mengatur waktu, antara kuliah dan berorganisasi. Sekaligus mengajar bimbel," tuturnya.

Setelah lulus, pada tahun 1994, universitas tersebut membuka pendaftaran penerimaan dosen. Tentunya dengan beberapa tahapan.

"Ikut tes, dinyatakan lulus menjadi dosen hingga diminta menjadi Sekretaris Jurusan (Sekjur) Kimia di usia 26 tahun," sebutnya.

Tak sampai disitu, Suharso pun mengikuti kursus bahasa Inggris di Kota Palembang, Sumatera Selatan selama enam bulan.

"Setelah itu, saya daftar S2 di Curtin University of Technology, Applied Chemistry, Perth, Australia tahun 1998-2003," ungkapnya.

Tetapi, saat melanjutkan pendidikan di Australia itu, jurnal penelitiannya dinilai dapat langsung dikonversi menjadi Doktor. Dengan syarat perkuliahan ditambah setahun.

"Hingga akhirnya selama 3,5 tahun saya selesai dan menjadi Doktor di usia 33 tahun," kata dia.

Sepulangnya dari Australia pada 2003 lalu, tak membutuhkan waktu lama Suharso kembali diminta menjadi Sekjur.

"Seiring berjalannya waktu, enam tahun kemudian saya menjadi profesor termuda di usia 39 tahun," ungkapnya. (**)






Editor:





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos