Stabilitas Harga Pangan Terjaga, Inflasi Lampung Lebih Rendah dari Realisasi se-Sumatera

img
ilustrasi Kantor Perwakilan wilayah (KPw) Bank Indonesia Provinsi Lampung.

MOMENTUM, Bandarlampung--Indeks Harga Konsumen (IHK) Provinsi Lampung pada Desember 2022 tercatat mengalami inflasi sebesar 0,62 persen (mtm)--laju inflasi dalam sebulan--, lebih tinggi jika dibandingkan periode November 2022 yang mengalami inflasi sebesar 0,01 peren (mtm). Namun lebih rendah dari rata-rata inflasi Desember pada tiga tahun terakhir yang sebesar 0,76 persen (mtm).

Tingkat inflasi IHK tersebut sejalan dengan Nasional dan wilayah Sumatera yang masing-masing juga mengalami inflasi sebesar 0,66 persen (mtm) dan 0,96 persen (mtm). Secara tahunan, inflasi Provinsi Lampung Desember 2022 tercatat sebesar 5,51 persen (yoy)--laju inflasi dalam setahun--, sama dengan inflasi nasional yang juga sebesar 5,51 persen (yoy) dan lebih rendah dari inflasi tahunan Sumatera yang sebesar 6.14 persen (yoy).

Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Lampung, Budiyono dalam rilis tertulisnya, Selasa (3-1-2023).

Dilihat dari sumbernya, inflasi pada Desember 2022 didorong oleh kenaikan harga pada beberapa komoditas seperti: beras, cabai rawit, telur ayam ras, minyak goreng, dan daging ayam ras dengan andil masing-masing sebesar 0,151 persen; 0,121 persen; 0,083 persen; 0,040 persen; dan 0,020 persen.

Di tengah pasokan yang relatif terjaga, kenaikan harga beras pada bulan laporan disebabkan meningkatnya permintaan menjelang libur hari besar dan keagamaan nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru 2023. Peningkatan permintaan dimaksud turut mendorong kenaikan harga gabah yang lebih tinggi akibat faktor cuaca dan meningkatnya biaya logistik serta upah buruh akibat 2nd round impact penyesuaian harga BBM bersubsidi pada September 2022.

Kenaikan permintaan menjelang HBKN Nataru dan kenaikan biaya logistik juga mendorong tekanan inflasi pada komoditas cabai rawit, telur ayam ras, minyak goreng, dan daging ayam ras di tengah berakhirnya periode panen cabai rawit dan adanya penyesuaian harga penjualan di tingkat konsumen untuk komoditas telur dan daging ayam ras sebagai dampak implementasi Peraturan Badan Pangan Nasional No 5/2022.

Inflasi yang lebih tinggi pada bulan Desember 2022 tertahan oleh deflasi pada sebagian komoditas, di antaranya cabai merah, anggur, kangkung, udang basah, dan bayam dengan andil masing-masing sebesar -0,011persen; -0,006persen; -0,005persen; -0,005persen; dan -0,005persen. Berlanjutnya penurunan harga cabai merah bulan laporan disebabkan oleh pasokannya yang masih terjaga pasca periode panen raya pada bulan November 2022. Perkembangan tersebut juga didukung oleh pelaksanaan urban farming “Gerakakan Tanam Cabai” dengan penyerahan 249.510 bibit cabai merah kepada KWT, PKK, pondok pesantren, dan kelompok masyarakat lainnya sebagai salah satu rangkaian kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) Provinsi Lampung tahun 2022. Penurunan harga anggur disebabkan oleh meningkatnya pasokan seiring dengan realisasi impor pada bulan laporan.

Lebih lanjut, deflasi kangkung, bayam, dan udang disebabkan oleh masuknya periode panen.

Untuk keseluruhan tahun, inflasi Provinsi Lampung pada tahun 2022 sedikit lebih tinggi dari rentang sasaran inflasi nasional 3±1persen akibat adanya penyesuaian harga BBM bersubsidi pada September 2022.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, laju inflasi Administered Prices (AP) pada tahun 2022 tercatat sebesar 13,37persen (yoy), lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2,40persen (yoy) pada tahun sebelumnya. Dampak rambatan dari kenaikan harga BBM tersebut juga tertransmisi ke komoditas inti yang tercatat mengalami inflasi 4,24persen (yoy), meningkat jika dibandingkan 1,15persen (yoy) pada tahun sebelumnya seiring dengan realisasi permintaan yang meningkat drastis dan cenderung tiba-tiba (pent up demand).

Namun demikian, laju inflasi Provinsi Lampung tahun 2022 tersebut lebih rendah dari prakiraan awal sejalan dengan penguatan stabilitas harga kelompok volatile food yang berlangsung lebih cepat, tercatat sebesar 3,01persen (yoy) – lebih rendah jika dibandingkan dengan 5,50persen (yoy) pada tahun sebelumnya seiring dengan pelaksanaan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di Provinsi Lampung tahun 2022. Adapun komoditas utama penyumbang inflasi pada tahun 2022 di antaranya bensin; angkutan udara, angkutan dalam kota, solar, dan mobil dengan andil masing-masing sebesar 1,014persen; 0,402persen; 0,139persen; 0,117persen; dan 0,099persen.

Sementara itu, NTP Provinsi Lampung pada Desember 2022 tercatat sebesar 102,19, tumbuh 0,86persen (mtm) jika dibandingkan dengan 101,32 pada bulan sebelumnya.

Kenaikan NTP ini didorong oleh subsektor Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Tanaman Perkebunan Rakyat yang naik masing- masing sebesar 0,78persen (mtm), 4,46persen (mtm) dan 0,84persen (mtm) sejalan dengan meningkatnya harga gabah, cabai rawit, dan TBS kelapa sawit.

Meski NTP Provinsi Lampung secara umum tercatat di atas 100, NTP subsektor Tanaman Pangan dan Perikanan Budidaya masih berada di bawah 100 yang tercatat masing-masing sebesar 94,92 dan 98,53.

Ke depan, KPw BI Provinsi Lampung memprakirakan bahwa inflasi IHK pada akhir tahun 2023 akan lebih rendah dari tahun 2022 dan kembali ke dalam kisaran target 3±1persen pada semester II tahun 2023.

Oleh karena itu, terdapat beberapa risiko yang perlu dimitigasi, antara lain: dari risiko kelompok inti, adanya risiko ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tidak menentu seiring percepatan normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral di dunia dan berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina.

Kemudian, risiko permintaan yang overshoot sejalan prospek perbaikan kinerja perekonomian yang disertai dengan peningkatan UMP tahun 2023. Risiko kelompok Administered Price, Kembali meningkatnya harga energi menjelang musim dingin akibat peningkatan permintaan global yang disertai dengan risiko ketidakpastian perkembangan diversifikasi energi kawasan Eropa.

Risiko kelompok Volatile Food, terdapat potensi berlanjutnya tekanan harga pupuk sehingga menyebabkan peningkatan biaya produksi bahan pangan kedepan. Di sisi lain, problem struktural pola tanam, manajemen impor, dan inefisiensi tata niaga pangan berisiko meningkatkan biaya produksi bahan pangan serta terdapat risiko kenaikan harga telur ayam dan daging ayam ras akibat peningkatan biaya input untuk pakan hewan ternak, terutama kedelai dan jagung.(**)






Editor: Agus Setyawan





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos