MOMENTUM, Bandarlampung--Jika saya sebut Jakarta, apa yang terlintas di pikiran anda?
Mungkin imajinasi pembaca langsung tertuju pada tugu monumen nasional (Monas). Bangunan setinggi 132 meter yang menjadi ikon ibukota negara.
Begitu pun ketika saya sebut Kota Bukit Tinggi di Provinsi Sumatera Barat. Sudah pasti Jam Gadang hinggap di dalam pikiran.
Pun begitu dengan Danau Toba. Salah satu destinasi wisata yang sangat terkenal di Provinsi Sumatera Utara.
Nama bangunan dan tempat yang saya sebut di atas berhubungan erat dengan identitas daerahnya. Sekaligus menjadi ikonik.
Mengapa saya sampai menyinggung persoalan ini melalui tulisan. Mungkin banyak pembaca yang penasaran.
Tentu, ini ada kaitannya dengan kampung halaman saya: Gunting Saga. Salah satu kelurahan di Kecamatan Kualuh Selatan, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura).
Berawal tiga minggu lalu. Saat itu, saya coba mencari kode pos alamat rumah orang tua di kampung, melalui situs google.com, di internet.
Agar, proses pengiriman barang yang ingin saya berikan, tidak salah alamat. Juga mudah ditemukan oleh kurir-- jasa pengiriman.
Ketika saya ketik kata kunci "Gunting Saga" di kolom pencarian Google. Muncul dua gambar: peta wilayah kelurahan dan bangunan bercat orange. Disertai sejumlah data pendukung lainnya.
Sepintas, data dan gambar yang tersaji itu terlihat biasa saja. Tidak ada yang aneh. Tapi, setelah dicermati dengan seksama saya sangat kaget. Ternyata, gambar bangunan bercat orange tersebut merupakan tempat ibadah.
Tentu, identitas gambar itu tidak sesuai dengan fakta penganut agama di sana. Sehingga, saya merasa terpanggil untuk mengkritisi hal ini.
Sebagai putra daerah, saya berkewajiban meluruskan informasi yang keliru agar tidak menjadi suatu pembenaran. Terutama jika sudah menyangkut informasi publik.
Tanpa bermaksud menyudutkan agama mana pun. Termasuk menyalahkan orang yang sudah mengunggah foto tersebut, di situs Wikipedia.
Persoalan ini menjadi serius ketika gambar tempat ibadah itu terpampang jelas di google. Siapa pun yang melihat pasti berpikir jika penduduk di kelurahan itu mayoritas Kristen. Faktanya tidak demikian.
Lalu muncul segudang pertanyaan. Apakah bangunan itu lebih memiliki nilai sejarah dibanding objek lainnya? Tentu tidak.
Masih banyak bangunan lain yang menjadi ciri khas di sana. Bahkan punya nilai sejarah lebih tinggi.
Seperti dua jembatan (dahulu tiga) yang membentang di atas Sungai Kualuh. Megahnya Masjid Nurul Yaqin. Atau bahkan dermaga (tangkahan) di pinggir sungai Kualuh yang tak kalah ikoniknya.
Atau bisa juga perlintasan rel kereta api di Lingkungan II Palang. Objek itu menjadi saksi bisu terjadinya kecelakaan maut yang merenggut banyak korban jiwa, puluhan tahun lalu.
Atau bisa juga kantor Kelurahan Guntingsaga, sebagai pusat administrasi pemerintahan setempat. Setidaknya, beberapa objek yang baru saya sebutkan, lebih pantas mewakili identitas daerah di sana. Ketimbang gambar rumah ibadah tadi.
Penyesatan informasi publik di google itu terjadi akibat minimnya kepedulian kita, sebagai warga setempat. Termasuk saya.
Sehingga, melalui tulisan ini perlu saya kritisi agar ada pembenahan. Terutama dari para pemangku kebijakan setempat. Mulai dari lurah, camat hingga bupati.
Agar enam ribuan penduduk di sana tidak merasa terbebani dengan penyesatan identitas tersebut. Ingat, mayoritas penduduk Gunting Saga itu bergama Islam. Tapi mengapa justru tempat ibadah lain yang menjadi simbol?
Identitas daerah sangat penting. Sebagai pengenal serta menjadi daya tarik bagi masyarakat luar. Juga menjadi sumber pengetahuan tentunya.
Analoginya: meski kondisi rumah bupati bersih, perabotannya mewah dan tertata rapi. Tapi, halaman depan rumah dipenuhi rumput liar.
Maka orang yang lewat akan menilai bahwa rumah itu tidak terawat. Terbengkalai. Sebab, dia hanya melihat dari luar. Tidak pernah masuk ke dalam rumah bupati.
Pun begitu dengan kasus ini. Mungkin warga Gunting Saga dan sekitarnya paham betul. Mayoritas penduduk di sana beragama Islam. Tapi, bagaimana dengan warga Jakarta termasuk ratusan juta penduduk di negeri ini?
Dengan tulisan ini saya berharap bisa menggugah nurani seluruh masyarakat Gunting Saga. Khususnya para pemangku kebijakan setempat.
Sudah saatnya kita bangkit. Menghapus semua stigma negatif dan mengedepankan hal- hal positif. Jika bukan kita yang membangun kampung sendiri, lantas siapa lagi?
Ingat, kebohongan yang disampaikan terus- menerus akan menjadi suatu pembenaran! Itu saja. Tabikpun. (*)
Editor: Agung Darma Wijaya