Harianmomentum.com--Melakukan mutasi jabatan oleh pejabat yang
berwenang menjelang akhir masa jabatannya bukanlah bentuk pelanggaran hukum,
tetapi tidak lazim dalam etika kepemimpinan suatu organisasi.
Menurut Ketua SETARA Institute, Hendardi dalam keterangan tertulisnya, tindakan yang
dilakukan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo melakukan mutasi 85 perwira
tinggi TNI sehari sebelum Presiden Jokowi mengajukan calon pengganti Gatot,
jelas tidak etis karena melanggar kepatutan dalam berorganisasi.
Namun, jika mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara yang
mengatur pengisian jabatan-jabatan tinggi madya dan utama yang mensyaratkan
adanya pertimbangan dari Tim Penilai Akhir (TPA) dan persetujuan presiden maka
mutasi tersebut bisa dianggap cacat administratif.
Larangan mutasi di masa akhir jabatan dilingkungan TNI memang
tidak detail karena prinsip kepatuhan pada pimpinan dan dianggap sebagai urusan
rumah tangga TNI, maka Panglima TNI memiliki kewenangan tak terbatas dalam soal
mutasi.
Karena itu di masa yang akan datang perlu dipikirkan suatu
regulasi yang mengikat terkait mutasi di masa transisi kepemimpinan. Belajar dari
UU Pilkada dan UU ASN, larangan mutasi itu jelas diatur tata caranya, termasuk
larangan mutasi di masa transisi.
Memang dalam kaitan kepala daerah, larangan itu ditujukan
untuk menghindari politicking suatu jabatan dalam kontestasi politik.
Tetapi jabatan Panglima TNI juga harus dipandang sebagai
jabatan publik dan politis karena pengisian jabatan ini dilakukan melalui
mekanisme politik juga, yakni melalui presiden dan persetujuan DPR.
Oleh karena itu, mutasi di ujung masa jabatan Gatot Nurmantyo,
bisa juga dipandang sebagai bagian dari konsolidasi politik yang mungkin saja
menguntung Gatot atau tidak menguntungkan bagi pihak-pihak yang tidak satu visi
dengan Gatot.
“Hemat saya, ke depan hal-hal semacam ini harus diatur lebih detail, sehingga mutasi yang tidak dikehendaki tidak membuat soliditas dan profesionalitas anggota TNI melemah. Hadi Tjahjanto dapat saja meninjau ulang mutasi yang dilakukan Gatot jika penempatan-penempatan perwira itu tidak memperkuat organisasi TNI,” tutup Hendardi. (rls)
Editor: Harian Momentum