MOMENTUM, Bandarlampung--Provinsi Lampung tercatat mengalami inflasi sebesar 1,96% (mtm) pada Maret 2025, sebuah lonjakan signifikan dibandingkan dengan deflasi 0,66% (mtm) pada bulan Februari.
"Inflasi ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat inflasi nasional yang hanya tercatat sebesar 1,65% (mtm)," kata Deputi Direktur Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Lampung, Achmad P Subarkah dalam keterangannya persnya, Selasa (8-4).
Jika dibandingkan dengan data tahunan, inflasi di Lampung tercatat sebesar 1,58% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan deflasi 0,02% (yoy) yang tercatat pada bulan sebelumnya. Capaian inflasi tahunan ini membawa angka inflasi Provinsi Lampung kembali mendekati target nasional yang berada di kisaran 2,5% ± 1%.
Kenaikan harga pada Maret 2025 terutama disebabkan oleh sejumlah faktor yang mempengaruhi biaya hidup masyarakat, antara lain kenaikan tarif listrik, serta harga bahan pokok seperti bawang merah, bawang putih, telur ayam ras, dan bayam.
Secara rinci, tarif listrik berkontribusi sebesar 1,25% terhadap inflasi akibat berakhirnya kebijakan diskon tarif listrik selama dua bulan pertama tahun 2025. Di sisi lain, kenaikan harga bawang merah dan bawang putih disebabkan oleh berakhirnya musim panen dan kendala impor, sementara bahan makanan lainnya terpengaruh oleh permintaan yang meningkat menjelang Bulan Ramadan dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idul Fitri.
Namun, meski terjadi lonjakan harga di beberapa komoditas, inflasi di Lampung pada Maret 2025 berhasil tertahan oleh sejumlah komoditas yang mengalami penurunan harga, seperti cabai merah dan angkutan udara. Penurunan harga cabai seiring dengan musim panen yang melimpah, serta kebijakan insentif PPN DTP untuk tiket pesawat yang mendorong turunnya biaya transportasi udara menjelang Ramadan, menjadi faktor penyeimbang.
Ke depan, Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Provinsi Lampung memproyeksikan inflasi IHK di Lampung tetap berada dalam kisaran target inflasi nasional 2,5% ± 1% sepanjang 2025. Meskipun demikian, ada beberapa potensi risiko yang perlu diwaspadai, seperti lonjakan permintaan akibat kenaikan UMP 2025 sebesar 6,5%, ketidakpastian geopolitik yang bisa mendorong kenaikan harga emas dunia, serta peningkatan konsumsi pada periode HBKN Idul Fitri.
Selain itu, sektor makanan yang bergejolak juga menjadi perhatian, terutama terkait dengan kenaikan harga beras pasca panen raya, serta potensi gangguan pada produksi pangan menjelang musim kemarau. Risiko lainnya datang dari sektor harga yang diatur pemerintah, terutama kenaikan tarif listrik pasca berakhirnya pemberian diskon dan potensi kenaikan harga angkutan udara setelah insentif PPN DTP berakhir.
Untuk mengatasi risiko inflasi ini, BI bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Provinsi Lampung telah merancang berbagai langkah strategis, antara lain menjaga keterjangkauan harga melalui operasi pasar yang terarah, memperkuat ketersediaan pasokan pangan melalui perluasan Toko Pengendalian Inflasi (TPI), serta memastikan kelancaran distribusi dengan meningkatkan kapasitas transportasi. Selain itu, komunikasi efektif dengan masyarakat dan media juga menjadi kunci untuk menjaga ekspektasi positif terhadap stabilitas harga dan pasokan.(**)
Editor: Agus Setyawan