MOMENTUM, Bandarlampung — Sidang praperadilan Direktur Utama PT LEB, M. Hermawan Eriadi, memasuki hari kedua di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Senin (1-12-2025).
Agenda sidang yang dipimpin hakim tunggal Muhammad Hibrian tersebut hanya berlangsung singkat. Berisi penyerahan sebagian alat bukti dari pihak pemohon maupun termohon (Kejaksaan). Sidang akan dilanjutkan besok untuk melengkapi bukti-bukti lainnya.
Pada sidang sebelumnya, Jumat lalu, Kejaksaan telah menyampaikan jawaban atas permohonan praperadilan. Namun hingga hari kedua, kuasa hukum pemohon menilai dugaan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada kliennya masih belum jelas.
“Perbuatan melawan hukum dan dugaan tipikornya masih misterius. Bahkan nilai kerugian negara pun belum disebutkan,” ujar Riki Martim, kuasa hukum Hermawan Eriadi.
Kejaksaan dalam sidang sebelumnya menyatakan bahwa mereka tidak berkewajiban menjelaskan secara rinci perbuatan yang disangkakan pada tahap ini. Jaksa Rudi menyebut, pihaknya cukup menjelaskan bahwa pemohon disangkakan melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sesuai surat penetapan tersangka.
“Selebihnya akan disampaikan pada proses persidangan pokok perkara,” kata Rudi.
Pernyataan tersebut ditanggapi Riki yang merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi 21/PUU-XII/2014. Menurutnya, penetapan tersangka harus didahului pemeriksaan calon tersangka agar yang bersangkutan mengetahui dan dapat mengklarifikasi dugaan perbuatannya.
“Itu bagian dari perlindungan hak konstitusi dan prinsip due process of law. Tanpa itu, kepastian hukum yang adil sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sulit dicapai,” ucapnya.
Dalam jawaban tertulis Kejaksaan setebal 16 halaman yang dibacakan pekan lalu, tidak dijelaskan secara spesifik perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan pemohon. Tidak ada uraian hubungan perbuatan dengan kerugian negara, maupun penjelasan bagaimana unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dipenuhi.
Padahal, Putusan MK 21/2014 menegaskan bahwa penetapan tersangka harus menyebutkan perbuatan yang disangkakan dan alat bukti pendukungnya. “Kejaksaan memang menyebut ada saksi, ahli, dan surat, namun tidak satu kalimat pun menjelaskan perbuatan klien kami,” kata Riki. Ia juga mengutip Putusan MA No. 42 PK/Pid.Sus/2018 yang menyatakan alat bukti harus berkorelasi langsung dengan perbuatan tersangka.
Selain itu, hingga kini Kejaksaan tidak menyebut besaran kerugian negara maupun menunjukkan hasil audit BPKP. Riki menilai hal tersebut sangat krusial dalam perkara tindak pidana korupsi.
“Kerugian negara harus nyata dan pasti (actual loss), bukan potensi. Itu ditegaskan UU Perbendaharaan Negara dan Putusan MK 25/PUU-XIV/2016,” ujarnya.
Sidang praperadilan akan kembali dilanjutkan besok dengan agenda penyerahan tambahan alat bukti dari kedua pihak. (**)
Editor: Harian Momentum
