Harianmomentum--Menurut Dr. Dyah Adriantini Sintha Dewi, SH, M.Hum, dipergunakannya semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari tulisan Mpu Tantular dalam Kitab
Sutasoma pada masa kerajaan Majapahit telah menunjukkan adanya penerimaan dari
bangsa Indonesia. Hal ini mengingat bahwa, sekalipun bangsa.
Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa, adat istiadat, agama, bahasa daerah, namun penggunaan istilah yang
berasal dari ajaran Budha dan Hindu, mendapat kesepakatan untuk dipergunakan
tanpa menimbulkan gejolak pertentangan diantara pemeluk agama yang lainnya.
Budaya bangsa Indonesia yang menganggap bahwa negara sebagai sebuah keluarga
besar, telah mampu menguatkan keberlakuan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hingga
saat ini.
“Adanya upaya untuk melemahkan
kebhinnekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, merupakan
hal yang harus disikapi secara serius penanganannya,”ujar Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Magelang, Jawa Tengah ini.
Bukanlah hal yang mudah untuk
mengatur dan menata sebuah negara dengan wilayah yang sangt luas, jumlah
penduduk yang sangat besar dengan beraneka adat istiadat, bahasa daerah,
budaya, agama dan karakter yang beragam. Keberagaman sangat mungkin merupakan
pemicu perpecahan. Untuk itu, maka sangatlah hebat dan harus kita apresiasi
adanya pemikiran dari para founding fathers yang menyitir kalimat bangunan Mpu
Tantular, "Bhinneka Tunggal Ika" sebagai semboyan dasar negara Indonesia.Bhinneka
Tunggal Ika dalam konteks Indonesia adalah rumah yang terdiri dari 17.504
pulau, 1.360 suku bangsa, 726 bahasa daerah, di samping adanya keragaman agama
dan kepercayaan yang diakui oleh negara.
Konsep
Negara Hukum Pancasila
Konsep negara hukum berkembang
sesuai dengan karakter dari sebuah bangsa. Lahirnya konsep rechtstaat di Eropah
berasal dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya
revolusioner, sementara konsep The Rule of Law berkembang secara evolusioner. Nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, sangatlah tepat dipakai sebagai dasar
pembangungan konsep negara hukum bagi bangsa Indonesia, mengingat bahwa
nilai-nilai Pancasila adalah digali dari diri bangsa Indonesia sendiri,
sehingga mencerminkan jati diri bangsa Indonesia. Jati diri inilah yang
membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain.
Bhinneka Tunggal Ika sebagai paradigma
dalam penegakan konsep negara hukum Pancasila, maka Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan sebuah negara hukum Indonesia, bahwa "Negara Indonesia
adalah negara hukum". Secara umum, bahwa konsep negara hukum mengatur
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang mendasarkan pada hukum. Dalam
menjalankan konsep negara hukum Pancasila, yang berangkat dari sikap asli
bangsa Indonesia, bahwa perlu adanya paradigma yang tepat sebagai pedomannya.
Dalam rangka untuk menegakkan konsep
negara yang berketuhanan sebagai realisasi dari kebhinnekaan dengan berdasarkan
pada sikap toleransi, kekeluargaan dan gotong royong sebagai pencerminan dalam
nilai-nilai Pancasila, maka dalam aktivitas ketatanegaraan di Indonesia perlu
penguatan terhadap sistem hukum yang berlaku dalam aktivitas ketatanegaraan di
Indonesia, yang meliputi 3 (tiga) unsur, yaitu substansi, struktur dan budaya
hukum. Berkait dengan substansi, bahwa adanya ketentuan dalam Pasal 29
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus benar-benar
difahami dan dihayati oleh seluruh bangsa Indonesia. Sementara berkait dengan
struktur, bahwa penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mengawal sekaligus
mengawasi pelaksanaan dari Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 supaya terjaga adanya toleransi dan keharmonisan dalam
melaksanakan ketentuan agama bagi masing-masing penganutnya.
Unsur budaya hukum menjadi dominan,
mengingat kunci utama adalah dalam sikap dan perilaku masyarakat. Bahwa bangsa
Indonesia terbentuk diawali dari keanekaragaman adalah merupakan hal yang tidak
dapat diingkari, sehingga budaya hukum masyarakat untuk selalu menghormati
perbedaan yang ada menjadi tuntutan dalam menegakkan konsep negara hukum
Pancasila.
Penolakan
HTI dan FPI
Jajaran Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengambil sikap terang perihal gerakan HTI dan FPI.
Mereka mengimbau warga NU untuk tidak menyetujui bahkan terlibat dalam aksi-aksi
gerakan keduanya. Karena, semangat dua organisasi yang disebut terakhir berada
di luar nilai-nilai dakwah ahlussunnah wal jamaah. Menurut Katib Aam PBNU KH
Malik Madani, warga NU tidak boleh terpengaruh oleh HTI dan FPI serta warga NU
di daerah untuk menjaga aqidah warga NU setempat dari segala ajaran sempalan di
dalam Islam.
“Kalau gerakan HTI
bertolak belakang dengan kesepakatan Pancasila sebagai asas tunggal negara,
aksi-aksi yang dilancarkan FPI tidak mengacu pada semangat dakwah aswaja.
Praktik amar makruf dan nahi munkar model FPI, tidak terdapat acuannya di dalam
kitab-kitab ulama mazhab”, tandas Kiai Malik (http://www.nu.or.id/post/read/51730/nu-tolak-tegas-gerakan-hti-dan-fpi)
Sebelumnya,
FPI menghadapi penolakkan dari berbagai elemen masyarakat di beberapa daerah.
Hal ini terjadi lantaran mereka menilai FPI sering melakukan aksi kekerasaan.
Berdasarkan catatan Tempo,
berikut ini adalah aksi penolakan masyarakat terhadap kehadiran FPI di sejumlah
daerah.
FPI ditolak Suku Dayak Kalimantan Tengah. Sejumlah organisasi massa dan warga
suku Dayak menentang rencana pendirian FPI di Provinsi Kalimantan Tengah.
Mereka menilai FPI adalah organisasi massa yang identik dengan kekerasan,
sehingga tidak sesuai dengan budaya suku Dayak, yaitu Huma Betang, yang
mempunyai makna kebersamaan dalam keragaman. Ketua Gerakan Pemuda Dayak
Kalteng, Yansen Binti, mengatakan filosofi Huma Betang menjunjung tinggi perdamaian
serta toleransi antar-umat beragama. "Sementara FPI kerap menggunakan
kekerasan untuk mencapai tujuannya," kata Yansen, Sabtu, 11 Februari 2012.
Penolakan Pesilat Muslim di Kediri. Ketua Gerakan Aksi Silat Muslim
Indonesia (GASMI), Zainal Abidin, menolak keras keberadaan FPI di Kediri, Jawa
Timur. Organisasi pesilat ini bahkan telah menggagalkan rencana pembentukan FPI
di Kediri. Gus Bidin -panggilan Zainal Abidin- meminta anggota FPI mengurungkan
niat melanjutkan organisasi itu, jika tidak ingin berhadapan dengan para
pesilat Muslim. Sebab, dia menilai FPI telah menjadi momok bagi perjuangan
Islam. Alih-alih melakukan dakwah, perilaku mereka justru mengumbar kekerasan.
"Apalagi kemana-mana membawa atribut dan simbol Islam," kata Gus
Bidin, Selasa, 14 Februari 2012.
Ditentang
Mahasiswa Kupang. Saat
memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2013, puluhan mahasiswa di Kupang,
Nusa Tenggara Timur (NTT), melakukan aksi menolak keberadaan FPI dan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI). Menurut mereka kehadiran dua ormas Islam itu
bertentangan dengan asas Bhineka Tunggal Ika. Koordinator aksi, Ilo mengatakan
aksi ini merupakan bentuk keprihatinan pemuda terhadap kehidupan bangsa yang
semakin diintervensi oleh ormas garis keras yang telah keluar dari nilai-nilai
ke-bhineka-an. "Kami minta pemerintah segera bubarkan FPI dan HTI,"
katanya.
Dihadang Warga
Wonosobo. Sejumlah
warga Wonosobo, Jawa Tengah, sempat mengadang Ketua FPI Jawa Tengah,
Syihabudin, seusai berceramah pada pengajian di Desa Bowongso, Kalikajar.
Mereka tersinggung dengan isi ceramah Syihabudin yang tak suka dengan aktivitas
Banser - organisasi sayap Nahdlatul Ulama- yang menjaga gereja kala ada
kegiatan keagaman.
Terancam Sweeping di Tulungagung. Aliansi Masyarakat Tulungagung Cinta Damai menolak rencana
FPI mendeklarasikan diri di Tulungagung, Jawa Timur. "Kami tidak ingin
Tulungagung dikotori oleh orang-orang yang menghalalkan kekerasan," kata
Maliki Nusantara, juru bicara aliansi, Senin, 27 Oktober 2014. Maliki
menyatakan akan melakukan sweeping
terhadap anggota FPI, jika berani berbuat onar. Bahkan mereka juga
siap melakukan perang fisik, jika dibutuhkan. Sebab, sepak terjang FPI selama
ini dinilai buruk dan merusak citra umat Islam.
Dituntut Bubar oleh Warga Pontianak. Ribuan orang berkumpul di Rumah
Betang, Jalan Sutoyo, Pontianak, pada Kamis, 15 Maret 2012. Mereka menuntut
agar FPI Kalimantan Barat dibubarkan. Mereka datang dari daerah-daerah yang
berbatasan langsung dengan Kota Pontianak, antara lain Sei Ambawang dan Mandor.
Konflik ini terpicu isu bentrokan, buntut dari ribut-ribut penurunan spanduk
penolakan FPI di Kalimantan Barat.
Belajar dan menyimak
dari fakta-fakta diatas, termasuk perkembangan bigotry yang semakin akut
terjadi akhir-akhir ini, maka tidak salah jika masyarakat menuntut pemerintah
bersifat tegas terhadap organisasi radikal, tidak hanya yang bernuansa Islam
namun juga bernuansa agama lainnya, karena sejatinya organisasi radikal dan
intoleran merusak ajaran agama apapun yang suci sifatnya. (***)
Editor: Harian Momentum