Harianmomentum--Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013
tentang Ormas masih menyisakan pro dan kontra di tengah masyarakat. Utamanya
terkait potensi bahaya yang ditimbulkan terhadap demokrasi dan HAM. jika Perppu
tersebut tidak dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.
Apalagi, sebagai
produk yang dibentuk atas dasar kegentingan yang memaksa, pemerintah hingga
satu pekan minggu setelah Perppu terbit belum melakukan tindakan apapun
terhadap obyek yang dianggap membahayakan bagi sendi-sendi kehidupan bernegara.
Pada dimensi HAM,
perlu disampaikan bahwa dewasa ini munculnya radikalisme berbasis agama dan
ekstrimisme dengan kekerasan serta fenomena failed state di Timur Tengah dan
Afrika dikarenakan konflik komunal dan kekerasan. Hal itu membuat sejumlah
pakar hak asasi mempertanyakan apakah konsep negara dalam perspektif HAM
tradisional yang menekankan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak
asasi individu masih relevan.
Perspektif HAM
tradisional menekankan kewajiban negara (state duties) untuk pemenuhan hak
warga negara. Perspektif HAM tradisional mengandaikan negara demokratis dan
negara bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya secara normal. Tidak pernah
atau jarang dipikirkan bagaimana kalau negara mengalami kesulitan dan krisis
sehingga tidak mampu dan berkapasitas menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan
hak warga negara.
Karena itu, perspektif
HAM harus melihat konteks atau kontekstual, tidak saja memenuhi hak warganegara
tapi juga membuat negara tetap bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya.
Perppu adalah exercise
formula keseimbangan yang mencoba merumuskan margin of appreciation baru hak
asasi manusia di tengah situasi radikalisme dan ekstremisme yang terus membesar
di Republik Indonesia.
Sebagai sebuah
kebijakan pembatasan, maka kekhawatiran atas abuse of power atas kuasa negara
untuk membubarkan ormas dan pemidanaan subyek-subyek hukum yang melanggar,
adalah sesuatu yang dapat dipahami.
Kekhawatiran itu harus
dijawab dengan implementasi yang transparan, akuntabel, dan presisi pada obyek
yang sungguh-sungguh melakukan pelanggaran dan mengancam ideologi Pancasila.
Pemerintah, kepolisian, dan kejaksaan adalah institusi kunci yang harus
memastikan Perppu ini tidak dijalankan secara sewenang-wenang.
Dalam konteks
pembubaran Ormas, meskipun mekanisme bertahap dan berjenjang dihilangkan dari
UU 17/2013, sesungguhnya pembubaran dengan mekanisme seperti dalam Perppu
tetap merupakaan obyek yang bisa dipersoalkan di peradilan tata usaha Negara
(PTUN). Hanya saja pada UU Ormas, putusan pembubaran dilakukan setelah melalui
proses pengadilan.
Pada Perppu, putusan
pembubaran oleh negara, tetapi kemudian pihak yg dibubarkan bisa melakukan
pembelaan diri ke pengadilan, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Perppu, karena mekanisme keberatan ini tunduk pada rezim peradilan TUN.
Perppu harus dibaca
sebagai kewenangan pemerintah atau negara dalam merespon suatu keadaan yang
tidak normal dan mendesak. Karena itu, putusan yang diambil adalah dengan
kesegeraan agar situasi itu bisa normal kembali. Perppu itu adalah sesuatu yang
diatur dalam sistem ketatanegaraan kita. Perppu ini konstitusional. bahkan
tetap menjalankan prinsip check and balances dengan membuka ruang bagi judicial
review di MK dan pengujian melalui DPR.(**)
Editor: Harian Momentum