MOMENTUM, Bandarlampung--Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (Mirza) kembali menegaskan, soal larangan dan pembatasan (lartas) impor tapioka merupakan kewenangan pemerintah pusat. Yaitu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Demikian juga soal patokan harga komoditas, seperti singkong yang berlaku nasional.
Gubernur Lampung Rahmar Mirzani Djausal atau Mirza menatakan, pemerintah daerah hanya sebatas mengusulkan ke pusat. Karena ini menyangkut hubungan bilateral dan multilateral antarnegara. "Pemerintah Provinsi Lampung sudah mengusulkan hal ini ke pusat agar lartas impor tapioka dan standar harga serta mutu segera diputuskan," kata Mirza di Bandarlampung, Sabtu (10-5-2025).
Sebelumnya, Gubernur Lampung menerbitkan Instruksi Gubernur Lampung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penetapan Harga Ubi Kayu di Provinsi Lampung pada Senin 5 Mei 2025. Instruksi itu menetapkan harga singkong Rp1.350/kg dengan potongan maksimal 30 persen tanpa kadar aci.
Menanggapi Instruksi Gubernur Lampung itu, pengusaha tapioka di Lampung yang tergabung dalam Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI) mengusulkan lima syarat agar pabrik tapioka mampu menjalankan instruksi gubernur.
Satu dari lima syarat itu, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Yaitu, PPTTI minta Gubernur Lampung mempercepat larangan dan pembatasan (lartas) impor tepung tapioka di Indonesia dan ketentuan harga singkong secara nasional.
Atas keterbatasan kewenangan, Gubernur Lampung Lampung mengajak pemangku kepentingan terkait, seperti petani, asosiasi petani, dan industri tapioka bersama Pemprov Lampung bersama mangawal usulan tersebut ke pusat. Gubernur berharap kekompakan petani, industri, dan pemprov dalam mengawal usulan ini menjadi atensi khusus bagi pusat untuk segera memutuskannya.
Menurut gubernur, sinyal ke arah itu mulai tampak. Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan kesiapan membahas usulan larangan dan pembatasan (lartas) impor tapioka dalam forum koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), dan ini memang ranahnya kemenko perekonomian bukan kemenko pangan.
Langkah itu merupakan tindak lanjut dari aspirasi petani singkong Lampung dan kebijakan daerah yang diinisiasi oleh Pemprov Lampung.
Kementerian Perdagangan melalui Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Isy Karim menyatakan bahwa pihaknya telah membahas usulan lartas secara internal dan siap mengangkat isu ini dalam forum koordinasi lintas kementerian.
Pembahasan akan dilakukan dengan mempertimbangkan dinamika ekonomi nasional dan global, serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan.
Terpisah, kebijakan Gubernur Mirza soal penetapan harga dasar singkong, dikabarkan mendapat dukungan dari kalangan industri. Hingga hari ini, sekitar 33 pabrik pengolahan singkong di Lampung telah mematuhi Instruksi Gubernur Nomor 2 Tahun 2025, yang mengatur harga dasar Rp1.350 per kilogram dan potongan maksimal 30 persen.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD Lampung, Mikdar Ilyas, menyebut langkah ini sebagai bentuk keberpihakan nyata kepada petani. Meski begitu, masih ada 3 hingga 4 perusahaan yang belum menjalankan aturan tersebut.
“Kita apresiasi sekitar 30 perusahaan yang sudah mengikuti harga dan potongan sesuai instruksi gubernur. Tapi masih ada beberapa yang belum, dan ini akan segera kita evaluasi. Kita ingin seluruh pabrik patuh agar sistem tata niaga ini benar-benar adil,” kata Mikdar.
Dukungan kuat juga datang dari kalangan industri yang tergabung dalam Perhimpunan Pengusaha Tepung Tapioka Indonesia (PPTTI). Ketua PPTTI Lampung, Welly Soegiono, menegaskan bahwa dari 18 perusahaan anggota asosiasi, seluruhnya telah menyatakan kesediaan menjalankan instruksi gubernur.
“Kami sepakat dengan kebijakan Pak Gubernur. Tujuannya jelas, agar usaha tetap berjalan dan petani juga tidak dirugikan. Semua anggota kami patuh, kecuali dua pabrik yang sedang tutup sementara karena over haul,” ujar Welly.
Gubernur Rahmat Mirzani Djausal sebelumnya juga menegaskan bahwa penetapan harga dasar hanyalah satu bagian dari solusi menyeluruh yang perlu didukung kebijakan nasional. Karena itu, ia terus mendorong pemerintah pusat untuk segera menetapkan larangan dan pembatasan (Lartas) impor singkong dan turunannya, seperti tapioka.
Ketua Pansus, Mikdar Ilyas, juga menekankan bahwa kewenangan menetapkan Lartas bukan berada di Kemenko Pangan, melainkan sepenuhnya berada di tangan Kemenko Perekonomian sebagai koordinator lintas sektor ekonomi.
“Kalau bicara harga di daerah, itu sudah selesai. Tapi sekarang bola ada di pemerintah pusat. Lartas itu wewenang Kemenko Perekonomian, bukan Kemenko Pangan. Dan ini mendesak. Jangan tunggu ekonomi global membaik dulu, lihat dulu ekonomi petani kita,” tegas Mikdar.
Ia juga mengingatkan bahwa sebagai penghasil singkong terbesar di Indonesia, petani di Lampung justru paling menderita akibat tekanan harga dan sistem potong yang tidak adil. Jika tidak segera ada kebijakan nasional yang berpihak, maka petani bisa beralih ke komoditas lain dan industri ikut terdampak.
“Kita dorong pusat segera ambil keputusan. Ini bukan soal angka makroekonomi, ini soal keberlanjutan hidup petani singkong dan industri yang menyerap hasil mereka. Jangan tunda lagi,” tutup Mikdar.
Dengan dukungan lebih dari sekitar 30 pabrik, Pemerintah Provinsi Lampung bersama DPRD kini menunggu langkah nyata dari pusat untuk menyempurnakan regulasi tata niaga singkong nasional. (**)
Editor: Muhammad Furqon