Pada
awal Mei 2017, Wiranto, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan
mengumumkan sikap pemerintah yang berencana membubarkan Hitzbut Tahrir
Indonesia (HTI) yang selama ini disinyalemen mengembangkan paham radikal yang
bertentangan ideologi negara. Menurut
penjelasan Wiranto, ada tiga alasan pemerintah untuk membubarkan HTI.Pertama, sebagai ormas berbadan hukum,
HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses
pembangunan guna mencapai tujuan nasional.Kedua,
kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan
tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan
benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat,
serta membahayakan keutuhan NKRI.Pembubaran HTI ini merupakan komitmen
pemerintah untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Sementara itu, Jaksa Agung RI, Muhammad
Prasetyo, menyatakan bahwa pihaknya sedang menggodok mekanisme hukum yang akan
pemerintah tempuh untuk membubarkan HTI.
Pemerintah dihadapkan pada sejumlah opsi baik melalui Perppu atau
Kepres, maupun menempuh mekanisme pembubaran melalui pengadilan. Opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam
pembubaran ormas ini merujuk pada konsep by
law dimana pemerintah menerbitkan aturan untuk menjadi dasar hukum seperti
Perppu/Keppres, maupun due procces of law
yakni pembubaran HTI akan dilangsungkan melalui proses peradilan. Pilihan opsi tersebut tidak hanya menunjukan
prinsip rechstaat atau negara hukum,
tetapi juga sejalan dengan kaidah demokrasi karena tidak by power yang bisa menjadi sewenang-wenang.
Sikap tegas pemerintah untuk membubarkan HTI
tentu bukan tanpa dasar.HTI tidak dapat dipisah dari Hitzbut Tahrir (HT),
partai politik global yang mengusung ide Khilafah.HT sendiri memiliki reputasi
politik yang buruk karena terlibat dalam sejumlah aksi kudeta gagal seperti di Yordania
tahun 1969, Mesir, Iraq, Sudan, Tunisia, dan Aljazair tahun 1973.Keberadaan HT
sendiri telah dilarang diberbagai negara karena diyakini menginspirasi
tindakan kekerasan dan terorisme.Pembubaran HTI dapat menjadi pintu masuk bagi
pemerintah untuk menindak secara tegas ormas-ormas radikal lainnya yang
beroperasi di Indonesia.Sebagaimana catatan Kemendagri dan Kemenkumham, ada
lebih dari 300 ribu ormas di Indonesia dan puluhan ormas yang didirikan oleh
warga negara asing di Indonesia.Bahkan, diperkirakan ada 16 sel organisasi yang
secara eksplisit menyatakan berbaiat pada organisasi teror ISIS. Karena itu, langkah yang akan diambil
pemerintah terhadap HTI harus dimaknai sebagai upaya untuk melindungi keamanan
masyarakat sekaligus eksistensi negara bangsa dari ancaman fatual
kelompok-kelompok yang mengusung paham radikal.
Ormas Radikal Sumber Teror
dan Kekerasan
Perkembangan
organisasi radikal di Indonesia yang berkembang pesat tidak lepas sebagai
pengaruh pergolakan di Timur Tengah.
Munculnya kelompok-kelompok teror baru di Timur Tengah telah menjadi
magnet bagi potensi kelompok radikal di Indonesia yang sebelumnya bersifat laten
menjadi manifest kepermukaan. Hal ini
tidak mengherankan jika pasca surutnya pengaruh Jamaah Islamiyah di Indonesia,
ISIS segera mendapat momentum untuk menggalang simpati dari kekuatan radikal yang laten di Indonesia. Begitupula dengan keberadaan HTI yang memang
telah melakukan penetrasi sejak awal 1980-an di kelompok-kelompok strategis,
terutama kelas menengah perkotaan dan masyarakat kampus terdidik, segera
mengalami kemajuan pesat dalam hal keanggotaan dan artikulasi gerakan
politiknya di muka publik melalui selubung kegiatan dakwah.
Meminjam
pendapat yang dikemukakan oleh Arun Kundnani dalam A Decade Lost; Rethinking Radicalisation and Extremism, kelompok
radikal menganut dan mengembangkan ideologi ekstrim berasal dari interpretasi
agama yang terdistorsi.Ideologi ekstrim ini dimaksudkan sebagai nilai-nilai
yang bertentangan dengan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat dan dianut
oleh negara. Demokrasi, toleransi, Hak
Azasi Manusia, kebebasan individu dan keragaman kepercayaan dan keagamaan
menjadi “barang haram” bagi individu maupun kelompok yang mengusung ideologi
ekstrim.Ekspresi dari ideologi ekstrim ini tampak dalam berbagai propaganda
politik dan keyakinan yang dikembangkan dengan menolak semua realitas yang
tidak sesuai dengan mereka.Penolakan itu dapat berkembang secara bertahap
maupun spontan, dimana penggunaan kekerasan menjadi alternatif yang cepat atau
lambat realisasinya hanya persoalan waktu saja.Para pelaku kekerasan inilah
yang kemudian identik dengan yang disebut sebagai kelompok teror.
Para
analis yang mengkaji tentang radikalisasi melalui pendekatan neokonservatif
melihat bahwa kelompok yang mengusung ideologi ekstrim yang berasal dari
interpretasi agama yang terdistorsi akan menjadi sumber daya penting dalam
proses pembentukan kelompok teroris atau setidak-tidaknya menjadi pelaku
kekerasan. Teoriconveyor beltdalam pendekatan neokonservatif menegaskan bahwa semakin
konservatif seorang penganut agama dalam menjalankan keyakinannya, maka semakin
fundamentalis dan otomatis teradikalisasi.Gerakan politiknya dapat berubah dari
“non-violent extremism”menjadi“violent extremism”.Keberadaan Ormas
radikal akan menjadi sumber daya penting bagi rekrutmen, dukungan serta safe house bagi kelompok teror.
Jika merujuk pada pendekatan neokonservatif, ideologi menjadi
faktor utama terbentuknya kelompok radikal.Meski pendekatan ini memiliki
keterbatasan karena tidak dapat memotret secara memadai faktor objektif lain
yang juga dapat memicu proses radikalisasi, namun transformasi ideologi ekstrim
yang dilakukan oleh kelompok radikal tetap menjadi variabel penting dalam
pembentukan kelompok kekerasan dan teror.
Bahkan, transformasi ideologi ekstrim ini tidak hanya kontak individu
secara langsung, tetapi juga menggunakan perangkat jejaring virtual untuk
menyasar target yang lebih luas.Sebagaimana diketahui, ISIS sebagai kelompok
teroris telah mengembangkan strategi rekrutmen dan radikalisasi melalui
jaringan media sosial yang mampu menjangkau target dalam spektrum wilayah
maupun status sosial yang kompleks.Kelompok teroris ini juga diketahui memiliki
ratusan akun media sosial maupun situs online sebagai kanal informasi yang
memicu terjadinya self radicalization.Hal
ini telah merubah bobot ancaman dimana tidak hanya berasal dari kelompok
terorganisir, tetapi juga dapat berasal dari individu yang mengalami self radicalization tanpa sebelumnya
terafiliasi pada kelompok yang lebih besar.
Penjelasan mengenai peranan ideologi ekstrim dalam radikalisasi
menunjukan bagaimana keberadaan kelompok/ormas radikal tidak sekedar ancaman
potensial yang bersifat laten, tetapi telah manifest sebagai ancaman
faktual. Fakta menunjukan hampir seluruh
kelompok yang selama ini dipandang oleh masyarakat sebagai kelompok radikal,
memiliki track record kekerasan dalam
sepak terjangnya. Sebagai contoh semisal
dengan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) yang sarat dengan aksi kekerasan
sosial dan pelanggaran hukum dengan menggunakan agama sebagai justifikasi untuk
melakukan agresi terhadap kelompok lain.
Pendekatan
“Ekstra Ordinary”
Perkembangan ormas radikal di Indonesia telah sampai pada taraf
yang mengkhawatirkan dan dapat membahayakan kepentingan nasional
Indonesia.Penanganan situasi ini tentu memerlukan pendekatan yang extra
ordinary karena instrument hukum yang ada tidak cukup memadai untuk
mengantisipasi perubahan-perubahan yang demikian cepat terjadi di
masyarakat.Keberadaan UU
No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dirasa belum mengakomodasi perkembangan dalam masyarakat terkait dengan
maraknya ormas radikal.Kewenangan pemerintah dalam pembubaran Ormas justru
berhadapan dengan prosedur yang panjang dan berbelit seperti yang diatur dalam pasal
60 hingga pasal 82 dimana diawali secara bertahap meliputi sangsi
administratif, penghentian dana bantuan, pelarangan kegiatan, hingga pencabutan
badan status badan hukum setelah mendapat persetujuan pengadilan.
Kelemahan
dalam UU Ormas ini telah menjadi momentum yang dimanfaatkan oleh Ormas radikal
untuk tetap mempertahankan eksistensinya.Masyarakat rentan menjadi objek radikalisasi
maupun korban dari perilaku radikal dan kekerasan. Menurut Kepolisian RI, tahun 2016 terjadi 170
kasus terkait terorisme, angka tersebut meningkat dibanding tahun 2015 yang
hanya 82 kasus. Terorisme diprediksikan
akan meningkat seiring dengan semakin terdesaknya kekuatan ISIS dan kelompok
teror lainnya di Timur Tengah. ISIS yang
semakin tersudut baik Suriah maupun Irak telah menginstruksikan kepada seluruh
jaringannya di berbagai negara untuk melakukan teror.Hal ini ditandai dengan
serangan teroris di sejumlah wilayah di Eropa seperti aksi bom di Paris dan
Manchester.Begitupula dengan geliat sel ISIS di Asia setelah pemerintah
Philipina memutuskan melakukan operasi militer terhadap militant Maute di
Marawi, Philipina Selatan. Perkembangan ISIS ini akan berdampak pada
meningkatnya kerawanan di Indonesia yang baru saja menjadi target serangan
teroris dengan bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu. Keberadaan sel tidur pendukung ISIS di
Indonesia jumlahnya cukup banyakakan menjadi ancaman nyata bagi keamanan
masyarakat.
Mencegah
aksi kekerasan dan teror tentunya harus melibatkan pendekatan yang
komprehensif.Pembubaran Ormas radikal merupakan salah satu langkah saja yang
dapat ditempuh oleh pemerintah.Pemerintah perlu melakukan terobosan hukum sekaligus
terobosan politik untuk mempersiapkan kerangka regulasi bagi upaya pemerintah
membubarkan Ormas radikal.Rencana pemerintah mengeluarkan Perppu dan Keppres
guna mengantisipasi kelemahan UU Ormas patut diapresiasi. Langkah ini juga perlu diperkuat dengan
revisi UU Terorisme, pengusulan UU Anti
Organized Crime, maupun payung hukum lain yang diperlukan untuk
mengantisipasi perkembangan berbagai bentuk ancaman non konvensional yang
muncul di masyarakat.
Dukungan
politik juga diperlukan karena langkah pembubaran Ormas radikal ini akan
dihadapkan pada isu demokrasi dan kebebasan politik. Kelompok radikal yang selama ini justru
memusuhi demokrasi dan kebebasan karena dianggap tidak sejalan dengan ideologi
ekstrim yang dianut, telah memanipulasi demokrasi guna melindungi dirinya dari
upaya pembubaran yang dilakukan pemerintah.
Seluruh kekuatan baik pada level suprastruktur maupun infrastruktur
politik harus memahami bahwa demokrasi tidak memberi tempat bagi keberadaan
kelompok radikal yang bersikap intoleran, anti keragaman, dan memusuhi
kebebasan yang merupakan bagian dari HAM yang esensial.Transformasi ideologi
ekstrim dari kelompok radikal harus dicegah penyebarannya.Keberadaan kelompok
radikal yang secara kuantitatif berjumlah kecil ini tidak dapat dibiarkan
menguasai ruang publik dan menebar teror psikologis maupun teror kekerasan
kepada masyarakat.Karena itulah, pembubaran Ormas radikal merupakan conditio sin quanon bagi pemerintah
untuk memastikan bahwa masyarakat terlindungi dan terjamin keamanannya di
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada jalan lain bagi pemerintah selain membubarkan Ormas radikal
dan memastikan secara efektif pencegahan penyebaran ideologi ekstrim yang kini
menyusup ke berbagai lini masyarakat.
Oleh : TONI
ERVIANTO
*) Alumnus pasca sarjana UI.
Editor: Harian Momentum