Puluhan Ribu Hektare Lahan TNBBS Beralih Fungsi

img
Workshop Kopi, Hutan dan Perubahan Iklim, di Whiz Prime Hotel, Bandarlampung

MOMENTUM, Bandarlampung--Pembukaan kawasan hutan lindung (deforestasi) masih menjadi masalah tahunan yang belum terselesaikan.

Saat ini, dari 313,5 ribu hektare total luas kawasan hutan lindung Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), 42 ribu hektare diantaranya  telah dibuka menjadi lahan perkebunan.

"Kami (TNBBS) lakukan pendataan berkala. Terakhir tahun 2017 terdapat 42 hektare hutan konservasi yang dibuka menjadi lahan perkebunan yamg didominasi jenis tanaman kopi. Tahun 2020 akan kami data lagi," kata  Kepala Bidang Pengelolaan TNBBS Siti Muksidah pada acara Workshop Kopi, Hutan dan Perubahan Iklim, di Whiz Prime Hotel, Bandarlampung, Minggu (15-12-2019).

Dia melanjutkan, kawasan TNBBS yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan itu berada di wilayah tiga kabupaten: Tanggamus, Pesisir Barat dan Kabupaten Lampung Barat.

Pihak balai TNBBS mengaku sudah melakukan berbagai cara untuk mengurangi jumlah opened area (area hutan terbuka) tersebut dalam bentuk: patroli rutin, sosialisasi kepada masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan. Kemudian pemberian akses untuk pemanfaatan HHBK (hasil hutan bukan kayu) di zona tradisional.

Pemberian hak akses pemanfatan HHBK itu dilakukan melalui skema: perjanjian kerjasama kemitraan konservasi, pemberian bantuan kepada masyarakat berupa bibit tanaman serta pelatihan.

Koordinator lifelihood Bestari Bandarlampung Sutarno pada kesempatan itu mengatakan, jurnalis punya peran penting terhadap upaya
pelestarian keragaman hayati di TNBBS.

"Keterlibatan Jurnalis bagi kampanye isu konservasi masih minim, oleh sebab itu kami fasilitasi workshop ini" kata Bestari.

Menurut dia, berdasarkan riset produktifitas petani kopi saat ini, hanya mencapai 600-700 kg per hektare/ tahun. Dengan asumsi harga kopi Rp20 ribu per kilogram, maka dalam setahun petani hanya menghasilkan Rp12 juta, atau Rp1 juta per bulan.

"Penurunan produktifitas disebabkan, pembukaan hutan untuk pertanian kopi tidak dibarengi dengan kesadaran pentingnya konservasi," terangnya.

Padahal menurut dia, metode tanam yang ramah lingkungan perlu terus disosialisasikan kepada warga sekitar hutan konservasi. Misalnya metode tanam agroforesti.

Agroforesti adalah pola tanam dengan komposisi 60 persen kopi, dan 40 persen tumbuhan berbatang besar  lain: petai, jengkol dan sebagainya.

Sutarno mengklaim, metode tersebut menjadi solusi agar petani kopi tetap produktif tanpa harus merambah hutan konservasi milik taman nasional.

"Kami minta dukungan dari teman-teman jurnalis, agar deforestasi berkurang kami tawarkan solusi berupa agroforesti untuk di sosialisasikan," harapnya.

Agenda workshop tersebut diselenggarakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bestari, Wildlife Conservation Society (WCS), WWF Indonesia, Yayasan Badak Indonesia (YABI) dan Balai Besar TNBBS. (rft)






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos