Jangan Politisasi Kasus Jiwasraya

img
ilustrasi.

MOMENTUM, Bandarlampung--Publik Indonesia kembali dikejutkan dengan dugaan kasus korupsi yang nilainya sangat fantastis. Dikutip dari cnninodonesia.com, PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah menjadi sorotan, karena perusahaan asuransi jiwa plat merah tertua tersebut mengalami tekanan likuiditas, sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp.23,92 triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya membutuhkan uang sebesar Rp.32,89 triliun untuk kembali sehat.

Kasus PT. Jiwasraya tersebut sebenarnya puncak gunung es yang baru mencuat, karena apabila diurut permasalahannya sudah terjadi dari tahun 2006 dimulai dari Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ekuitas Jiwasraya tercatat negatif Rp.3,29 triliun. Pada 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada 2008 dan Rp.6,3 triliun pada 2009. Di era tahun 2010-2012, Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp.1,3 triliun pada akhir 2011. 

Namun, Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta menyatakan metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah. Pada 2014, ditengah permasalahan keuangan, Jiwasraya menggelontorkan sponsor untuk klub sepakbola asal Inggris, Manchester City. Pada tahun 2017, kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun. Selain itu, perseroan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016. Namun pada tahun 2018, nasabah mulai mencairkan JS Saving Plan karena mencium kebobrokan direksi lama dan direksi baru dibawah kepemimpinan Asmawi Syam melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan Jiwasraya kepada Kementerian BUMN, sehingga terjadi gagal bayar perseroan hingga akhirnya mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp.802 Miliar.

Korupsi bukan hal yang asing lagi di Indonesia. Bahkan tergolong extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa, karena telah merusak tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah menghancurkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan tatanan hukum keamanan nasional. Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) menjadi harapan bagi bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, pemberantasan kasus korupsi tetap mengalami kesulitan dan masih tersendat, karena sudah menjadi penyakit kronis yang menyebar ke seluruh sektor bahkan sampai ke perusahaan-perusahaan milik Negara.

Akan tetapi, seperti kasus-kasus Mega Korupsi sebelumnya, kasus korupsi PT. Jiwasraya ini kembali terlalu jauh dibawa ke ranah politik, sehingga dikhawatirkan aksi korporasi dan restrukturisasi Jiwasraya akan berlangsung lama dan pada akhirnya menelantarkan substansi target yang ingin dicapai yaitu stabilitas kinerja keuangan Jiwasraya dan pemenuhan kewajiban pembayaran premi terhadap nasabah.

Pada dasarnya, dalam penjelasan umum UU PTPK yang tertera sebagai unsur-unsur tindak korupsi pada pasal 3 diantaranya, tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, penulis ingin menyoroti tenteng penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Konsep penyalahgunaan wewenang (detoournement de pouvoir) merupakan konsep yang dikenal dalam hukum administrasi. Selain konsep tersebut, dalam hukum administrasi dikenal pula konsep sewenang-wenang (willekeur). Menurut Jean Rivero dan Waline, penyalahgunaan wewenang diartikan dalam tiga wujud yakni, 1) Penyalahgunaan wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. 2) Penyalahgunaan wewenang dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain. 3) Penyalahgunaan wewenang dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Apabila melihat perjalanan kronologis kebobrokan laporan keuangan PT. Jiwasraya yang sudah berlangsung lama, pada dasarnya dapat dilakukan pendalaman pemeriksaan terhadap para direksi-direksi yang lama, meskipun itu berada di era Pemerintahan SBY.

Terkait wacana pembentukan pansus semestinya berkaca pada Pansus Bank Century yang nyatanya tidak mampu menyelesaikan masalah secara komprehensif dan optimal. Upaya politisasi terhadap kasus Jiwasraya beresiko menggagalkan perjuangan untuk mendapatkan investor dalam rangka menyelamatkan Jiwasraya. Biarkanlah ketentuan hukum yang dijunjung tinggi, sehingga dapat mengungkap secara gamblang pelaku korupsi di Jiwasraya.

Selain itu, belajar dari kasus-kasus Mega Korupsi di BUMN, diharapkan bagi kalangan BUMN agar tidak terjerat kerugian keuangan negara, karena perbuatan korupsi, maka dalam menjalankan kegiatan usaha BUMN harus selalu memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Peraturan Internal Perusahaan. BUMN juga harus senantiasa transaparan, akuntabel, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik dan menghindari konflik kepentingan dalam mengambil keputusan dan melakukan transaksi.(**)

Oleh : Iqbal Fadillah






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos