MOMENTUM, Bandarlampung--Penyebaran paham Radikalisme atau ideologi khilafah di Indonesia, cukup intensif dilakukan oleh para kelompok-kelompok radikal dan teroris dihampir seluruh wilayah Indonesia. Sejumlah Masjid-Masjid terbukti telah dikuasai oleh para kelompok radikal sebagai tempat untuk melakukan dakwah menyebarkan pengaruh paham radikal dan terorisme. Terungkap dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat 41 masjid yang terindikasi telah terpapar paham radikalisme. Diantaranya 11 masjid kementerian, 22 di lingkungan lembaga dan 21 masjid di lingkungan BUMN. Dari 41 masjid tersebut terdapat 7 masjid berkategori rendah, 17 masjid masuk pada kategori sedang dan 17 masjid masuk dalam kategori radikalisme tinggi. Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga memaparkan bahwa ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal. Dengan kata lain para pengurus masjid tersebut terkena proses radikalisasi.
Radikalisasi adalah proses dimana seorang individu berubah dari kepasifan atau aktivisme menjadi revolusioner, militan dan ekstrimis (Bakti, 2014:154). Selanjutnya radikalisme bisa dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yaitu pemikiran dan tindakan. Dalam hal pemikiran, radikalisme berfungsi sebagai ide yang bersifat abstrak dan diperbincangkan sekalipun mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun dalam bentuk aksi dan tindakan yang dilakukan aktor-aktor kelompok garis keras dengan cara-cara kekerasan dan anarkis untuk mencapai tujuan utamanya baik di bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi. Pada level ini radikalisme mulai bersinggungan dan memiliki unsur-unsur teror sehingga ia berpotensi berkembang dan berproses menjadi terorisme (Bakti, 2014:155).
Penyebaran radikalisme juga menyasar pada Masjid-Masjid dilingkungan kampus terutama menyasar pada kalangan generasi milenial. Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal Hamli, mengingatkan masjid di kampus berpotensi digunakan menyebar paham radikal. BNPT menganalisis sejumlah perguruan tinggi negeri menjadi tempat rekruitmen jaringan teroris. Jaringan terorisme menggunakan kesempatan dan celah yang ada. Terutama memasuki masjid di kampus dan perumahan. Jika sudah menguasai fisik masjid, mereka akan menyebarkan ideologi. “Takmir masjid di kampus harus mengetahui ada serangan paham radikalisme. Jaga takmir, jaga khatib dan jamaah.”, terangnya.
Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal: intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain); fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah); eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya); dan revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Paham radikal, dalam berbagai macam bentuknya, tidak disangsikan lagi merupakan musuh bersama. Pandangan keagamaan yang radikal adalah tahapan menuju tindakan radikal seperti kekerasan atau terorisme. Ini artinya, mustahil memutus jejaring kekerasan dan terorisme atas nama agaka jika para penyebar ideologi radikal masih diperlakukan secara permisif.
Menurut Direktur Riset Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang, Nafi Mutohirin, mengatakan bahwa Masjid menjadi tempat aktivisme politik adalah hal biasa. Baik di Mesir, Turki, maupun Indonesia, Masjid selalu menjadi ruang pergerakan, propaganda, ideologisasi, bahkan perekrutan anggota baru kelompok politik Islam.
Hal yang serupa ditulis dalam buku Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo, monograf yang diterbitkan Center for the Study of Religion and Culture, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2010), diketahui Masjid juga menjadi medan kontestasi politik. Kekuasaan di sini bukan berarti jabatan politik atau teritori, tetapi medan dakwah, yang memperebutkan hegemoni ideologi, mazhab, dan aliran. Bahkan KH Hasyim Muzadi pada 2009 mengingatkan umat Islam agar waspada terhadap gejala ideologi transnasional.Gerakan transnasional yang dimaksud adalah gerakan seperti Ikhawanul Muslimin, Jaulah , Al-Qaeda, dan Islam Liberal. Menurutnya, ideologi semacam itu bertentangan dengan arus utama Islam Indonesia yang selama ini toleran.
Negara bersama masyarakat sipil idealnya saling bersinergi menganulir penyebaran paham radikal. Salah satunya dengan tidak memberikan panggung bagi para penceramah agama yang gemar mengumbar ujaran kebencian dan gagasan yang bertentangan dengan ideologi bangsa.
Negara idealnya menyusun satu regulasi khusus yang mengatur ihwal siapa yang pantas diberikan kewenangan untuk berkhotbah dan berceramah di depan publik. Ketiadaan regulasi itulah yang membuat nyaris semua orang bisa menjadi penceramah agama. Terlebih ketika ceramah agama berevolusi dari cara-cara konvensional ke cara-cara yang lebih modern seperti saat ini.
Paham radikalisme dan terorisme tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi melalui sebuah proses panjang yang menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang. Ini juga berarti bahwa penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan dengan singkat pula. Situasi ini menempatkan negara dalam posisi dilematis. Di satu sisi, negara harus menjamin terpenuhinya hak dasar warga negara terkait kebebasan beragama juga berpendapat. Di sisi lain, negara juga dihadapkan pada ancaman radikalisme yang mustahil disikapi secara permisif.
Kehadiran masjid di tengah masyarakat diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan masyarakat dari paham radikalisme dan terorisme. Peran masjid sebagai tempat untuk mendidik anak-anak sejak usia dini agar terhindar dari paham radikalisme dan terorisme. Karena penanggulangan terorisme bukan hanya menembak atau menangkap, akan tetapi dengan menghadirkan juga negara di tengah-tengah masyarakat salah satunya melalui pembangunan masjid di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi lain, pengurus masjid atau Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) memiliki peran dalam menangkal gerakan radikalisme di masjid masing-masing. DKM harus mampu mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat pembinaan dan mempersatukan umat Islam. Fungsi DKM harus dimaksimalkan untuk memastikan kajian yang sesuai nilai-nilai Islam, mana yang tidak. Artinya yang diajarkan kemarin [pada pelaku terorisme] kemungkinan tidak melalui unsur-unsur syariat Rasulullah SAW.
DKM dapat mengembalikan fungsi masjid dengan menggelar kajian-kajian yang meningkatkan akidah atau keyakinan, akhlak atau perbuatan, serta ilmu umat Islam, termasuk mengajarkan pentingnya persatuan, kesatuan, kebersamaan antar semangat berbangsa dan bernegara yang semuanya relevan dengan ajaran Islam yaitu ukhuwah watoniyah dan ukhuwah bashoriah selain ukhuwan Islamiyah. Jika umat Islam memiliki akidah, akhlak, dan ilmu yang sesuai perintah Allah S.W.T., dan tuntunan Nabi Muhammad SAW, maka mereka akan bisa menepis radikalisme dengan sendirinya.(**)
Oleh : Deora Anabel. Penulis adalah Pemerhati Masalah Ideologi dan Politik.
Editor: Harian Momentum