Harianmomentum--Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI mulai dikenal oleh masyarakat luas saat melakukan sebuah konsolidasi Akbar berkaitan dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Serangkaian aksi bertajuk kawal QS Al-Maidah
ayat 51 telah dilakukan oleh GNPF-MUI mulai dari Aksi Bela Islamyang
berlangsung pada 14 Oktober 2016, ABI-II (411), AB-III (212), Tabligh Akbar 901
hingga gerakan shubuh berjamaah. Hampir setiap bulan kegiatan aksi atau kumpul
massa selalu dilakukan mengatasnamakan GNPF-MUI. Belum lagi beragam viral pesan
di media sosial yang disebarluaskan oleh relawan-relawan membawa nama GNPF-MUI.
Namun apakah GNPF-MUI benar-benar murni sebagai gerakan pengawal fatwa MUI.
Ditinjau
dari susunan kepengurusan yang pernah dipublikasikan ke publik, GNPF-MUI pun
berisikan Tokoh-Tokoh nasional diantaranya Habib Rizieq Syihab sebagai Dewan
Pembina, KH. Bachtiar Nasir sebagai Ketua, KH. Misbahul Anam sebagai Wakil
Ketua I, Muhammad Zaitun sebagai Wakil Ketua II serta Munarman sebagai Panglima
Lapangan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah GNPF MUI ini memang dibentuk
khusus untuk mengawal hasil fatwa MUI terkait dugaan penistaan agama yang
dilakukan Ahok atau punya agenda lain yang lebih luas.Pembentukan GNPF ini
pernah diakui Bachtiar Nasir, hanya karena spontanitas. Mereka tidak memiliki
agenda khusus bagaimana dan akan di bawa ke mana GNPF.
Menurut
Bachtiar, GNPF muncul murni untuk mengawal fatwa MUI terkait kasus dugaan
penistaaan agama yang dilakukan petahana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama atau Ahok.
Jika
dicermati, kemunculan GNPF tidak lepas dari selembar kertas “Pendapat dan Sikap
Keagamaan MUI” yang dikeluarkan 11 Oktober 2016 dan ditandatangani Ketua Umum
MUI KH Ma’ruf Amin. Pendapat itu terkait dengan Surat Al-Maidah 51 yang berisi
tentang larangan bagi umat Muslim memilih pemimpin Yahudi dan Nasrani. Secara
logika, GNPF MUI merupakan suatu gerakan mengawal seluruh keputusan fatwa-fatwa
MUI yang notabene untuk kemaslahatan umat. Atas dasar itu, seharusnya ruang
gerak GNPF MUI tidak hanya melulu mengurusi permasalahan fatwa MUI terkait
Ahok. Sebagai contoh MUI pernah mengeluarkan fatwa haram merokok. Sudah seharusnya
apabila memang tujuan gerakan GNPF MUI dibentuk untuk mengawal fatwa MUI, maka
secara logika harus ada gerakan mengawasi fatwa merokok tersebut.
Perjalanan
panjang serangkaian aksi GNPF MUI yang selama ini fokus mengawal sidang Ahok
hingga akhirnya Ahok divonis hukuman 2 tahun penjara, dianggap sebagai sebuah
bentuk pengawalan terhadap dugaan kasus penistaan Agama. Padahal, saat ini yang
cenderung terlihat berkenaan dengan GNPF MUI adalah seolah-olah merupakan
antitesis dan kekecewaan atas apa yang telah diatur atau dijalankan oleh
Pemerintah. Alhasil, massa pun mudah termobilisasi dengan mengatasnamakan bela
Agama ataupun bela Ulama. Maka pertanyaan yang kembali muncul adalah apa dasar
GNPF-MUI bergerak dan apakah sebagai perkumpulan yang legal. Belum lagi, MUI
sebagai sebuah lembaga resmi menolak dikait-kaitkan dengan GNPF.
Kasus Ahok
pun telah diputuskan dan Ahok dinyatakan bersalah dengan hukuman 2 tahun
penjara. Namun para petinggi-petinggi GNPF MUI nampaknya masih mempunyai bargaining politic dalam kancah
nasional, termasuk menggagas pertemuan dengan Presiden Joko Widodo. Pertemuan
yang digelar tepat di hari kemenangan umat Islam itu pun sangat hangat lantaran
masih dalam suasana Lebaran. Wakil Ketua GNPF MUI, Zaitun Rasmin pun menilai
pertemuan tersebut sebagai langkah awal rekonsiliasi. Pernyataan tersebut
seakan-akan menegaskan bahwa GNPF MUI belum selesai dan cenderung telah masuk
ke ranah politik. Mengingat selama ini GNPF MUI dikenal gencar mengkritik
Pemerintah, khususnya kepada Presiden Joko Widodo yang dianggap tidak bisa
tegas dalam menyelesaikan kasus hukum yang melibatkan Ahok. Apakah selanjutnya
GNPF MUI akan menjadi sebuah Partai Politik atau underbowParpol.
Ketua GNPF
MUI, KH. Bachtiar Nasir memang telah menampik terkait beredar informasi arah
GNPF MUI untuk mendirikan partai politik. Menurutnya gerakan GNPF MUI sangat
erat dengan dakwah, sosial dan politik, tapi tidak serta merta GNPF harus
menjadi sebuah partai politik dan belum pernah terpikirkan untuk menjadikan
GNPF sebagai sebuai partai politik. Andaikata ada usulan dari beberapa tokoh
agar pihaknya membuat partai politik, GNPF sampai saat ini belum memutuskan
untuk menjadi sebuah partai politik atau memiliki sebuah partai politik di
bawahnya. Namun demikian, ruang gerak GNPF MUI saat ini yang cenderung sudah
tidak pada “trah” nya sebagai gerakan pengawal fatwa, sudah meluaskan sayap
diantaranya mengawal terhadap kasus penganiayaan Hermansyah yang merupakan
saksi Ahli kasus chat palsu Habib Rizieq Shihab, hingga melawan penerbitan
Perppu No.02 tahun 2017 tentang revisi atas UU No.17 tahun 2013 tentang
Organisasi Masyarakat, yang kesemuanya lebih mengarah pada bentuk mengkritisi
Pemerintah, dengan tetap mengatasnamakan Umat Islam agar dapat bersatu
menegakkan keadilan dan kedamaian di Indonesia dengan GNPF sebagai lokomotif
perjuangan.
Nuansa
politis mobilisasi massa mengatasnamakan GNPF MUI pun semakin kentara pada saat
puluhan orang mengatasnamakan Presidium Alumni 212 dipimpin Ansufri Idrus Samba
menggelar aksi jalan kaki ke Komnas HAM pada Jum’at 14 Juli 2017 menyuarakan
tuntutan mengutuk keras kezaliman terhadap Hermansyah (Ahli IT yang menjadi
saksi Ahli kasus rekayasa Chat Habib Rizieq), menolak Perppu pembubaran Ormas
No.02 tahun 2017 karena bertentangan dengan UUD 1945 dan melanggar HAM serta
menolak pembubaran HTI dan Ormas Islam lainnya. Dalam aksi tersebut pun massa
menolak bentuk kriminalisasi terhadap Hary Taonesoedibjo (Ketua Umum Partai
Perindo), karena beranggapan sebagai korban kriminalisasi dan kezaliman
Pemerintah atas penetapan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dalam dugaan
ancaman melalui pesan singkat kepada Yulianto yang menjabat sebagai
Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus.
Apakah
sebenarnya yang ingin dicapai oleh GNPF saat ini pasca vonis bersalah telah
dijatuhkan terhadap Ahok. Keberadaan GNPF pun tidak hanya di pusat melainkan
telah menjamur di berbagai daerah, meskipun selama ini tidak ada satupun GNPF
yang sudah diresmikan. Para petinggi-petinggi GNPF saat ini pun punya posisi
tawar dalam kancah kontestasi politik nasional, terlebih usai serangkaian aksi
GNPF yang mewarnai Pilkada DKI Jakarta 2017 secara posisi politik mempunyai
andil dalam mempengaruhi animo pemilih pada salah satu pasangan calon.
Mungkinkah GNPF latah menjadi sebuah Partai Politik ataupun gerakan politik
yang mengarah pada tahun 2019. Mengingat, keberadaan Ormas dalam sejarah
Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari politik, seperti Nahdlatul Ulama
pasca keluar dari Partai Masyumi pada 1952 menyatakan diri sebagai Partai NU.
Di luar dugaan, Partai NU jadi pemenang ketiga pada Pemilu 1955. Namun saat
penyederhanaan partai, NU dan partai-partai Islam melebur ke PPP. Pasca
reformasi, keterlibatan ormas NU dalam kegiatan politik praktis mulai meningkat
saat tokoh-tokoh puncak ormas NU mendirikan PKB. Selain itu, Muhammadiyah punya
pengalaman sama. Tahun 1998, saat Amien Rais mengundurkan diri sebagai Ketua
Umum PP Muhammadiyah untuk mendirikan dan menjadi Ketua Umum PAN. Harapan warga
Muhammadiyah melambung. Itu wajar, saat itu Amien tokoh utama gerakan
reformasi. Ternyata, perolehan suara PAN tak terlalu tinggi. Lalu timbul
konflik internal yang membuat banyak tokoh seperti Gunawan Mohammad dan Faisal
Basri dkk meninggalkan PAN.
Kesimpulan
sementara, tak mudah bagi ormas yang sungguh-sungguh ormas seperti Muhammadiyah
dan NU bermetamorfosis jadi parpol. Fitrah ormas agama sering tak sejalan
dengan fitrah parpol. Bahkan, kalau NU tak bergabung ke PPP, belum tentu Partai
NU bisa sekuat pada 1955-1971. Namun, terlihat insan politik dapat membuat
ormas yang hanya bersifat sementara lalu dikembangkan jadi parpol yang cukup
berhasil. Kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan akan terjadi pada GNPF
yang saat ini masih belum dilegalkan bentuk organisasinya karena masih berstatus
Adhock.
------oo00oo------
Editor: Harian Momentum