MOMENTUM, Bandarlampung--Hari itu aku berkesempatan meliput kondisi sekitar kediaman pasien positif Covid-19 di kotaku.
"Jangan sentuh apa pun. Jangan kontak fisik. Jangan lupa bawa masker dan jaga jarak," kata redaktur lewat pesan whatsapp, sebelum aku berangkat meliput.
O ya, hampir lupa. Sebelumnya, beredar kabar di pesan whatsapp. Pasien positif corona meninggal dunia. Begitu bunyi kabar tersebut. Disertai juga tulisan alamat rumah si pasien.
Informasi itu, yang menjadi alasan aku ditugasi meliput. Kroscek kebenaran kabar, langsung dari lokasi tempat tinggal pasien. Belakangan, kabar itu dipastikan hoax.
Jujur saat akan berangkat meliput, aku merasa was-was. Sedikit takut juga sih..? Tapi apa boleh buat. Namanya juga tugas. Resiko jadi wartawan.
Dengan berdebar kupacu sepeda motorku yang memang sulit diajak ngebut itu, menerobos barikade rasa takut dan was-was. Ya, rasa yang mungkin juga dialami setiap orang, selama sepekan terakhir.
Lebih kurang 20 menit, akhirnya aku sampai di kompleks perumahan si pasien positif corona itu.
Sungguh di luar dugaanku. Ternyata di kompleks perumahan semua aktifitas warga berjalan wajar. Anak-anak terlihat bermain seperti biasa di gang (lorong-lorong) perumahan. Berberapa orang dewasa, tampak santai ngobrol.
Ada juga yang sibuk memperbaiki genteng rumah. Tidak ada penerapan social distancing atau saling menjaga jarak saat berintraksi sosial. Padahal, pemerintah sudah mengimbau masyarakat menerapkan social distancing. Katanya, sebagai salah satu cara mengantisipasi penularan virus corona.
Setelah lebih kurang 10 menit berkeliling di komplek perumahan, akhirnya kuberanikan diri bertanya pada seorang warga. Seorang ibu yang sedang menggendong anak kira-kira berusia hitungan bulan.
"Dengar kabar tentang si A yang positif corona itu bu," tanyaku dengan tetap menjaga jarak agak jauh. Walau pun dengan jarak itu aku tak yakin, dia mendengar pertanyaanku.
Akhirnya, aku nekat mendekat dalam jarak sekitar dua meter. Aku pun mengulang pertanyaan tadi.
Lagi-lagi, ternyata di luar dugaanku. Tak sedikit pun terlihat mimik khawatir di wajah ibu itu, saat aku mendekat. Malahan sambil tersenyum dia menjawab. Menunjukan arah rumah si pasein A yang kucari.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku bergegas menuju arah yang ditunjukan. Akhirnya sampai juga aku dekat rumah si pasien positif corona itu.
Tak jauh dari rumah si pasien itu, kutemui lima lelaki paruh baya yang sedang asik ngobrol. Di atas meja di hadapan lima lelaki itu, tampak beberapa gelas kopi yang tak lagi penuh. Kepulan asap rokok dari salah satu lelaki itu mewarnai obrolan mereka.
"Permisi pak dengar kabar tentang si A yang positif corona," tanyaku setelah mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
"Kenal, itu rumahnya," kata salah seorang dari mereka yang ternyata Ketua Rukun Tetangga (RT) di kompleks perumahan itu.
Tegas dia menyangkal. Kabar si pasien meninggal dunia, tidak benar.
"Nggak ada itu (kabar meninggal dunia). Malahan kata orang dinas kesehatan, kondisinya semakin membaik," terangnya.
Dia pun menceritakan, warga di kompleks perumahan itu, tetap beraktifitas dan berinteraksi seperti biasa. Padahal, jarak rumah mereka dengan rumah si pasien positif corona hanya hitungan beberapa meter saja. Malahan mereka juga tidak menggunakan alat pelindung diri. Sebutlah masker alat paling sederhana untuk mencegah penularan saat berinteraksi dengan orang lain.
Bukan mereka tak mau menggunakan masker. Tapi memang masker sulit didapat. Kalau pun ada dijual, harganya mahal.
"Awalnya kami sempat panik juga. Tetapi setelah dapat penjelasan dari dinas kesehatan, kami sekarang merasa tenang. Biasa-biasa saja. Terpenting tetap jaga kebersihan diri dan lingkungan," tuturnya.
Dari semua yang kualami itu, aku semakin sadar. Ternyata distance atau jarak itu sangat subyektif. Jauh dekat itu sesuatu yang sangat relatif. Tergantung dari sudut pandang dan tingkat kepentingan masing-masing. Temasuk situasi dan kondisi yang dihadapi.
Lagi-lagi, ternyata aku harus menyampaikan salut dan terima kasih atas pelajaran yang kudapat dari para warga tangguh. Tabik pun... (**)
Rifat Arif Wartawan Harianmomentum.
Editor: Harian Momentum