MOMENTUM, Bandarlampung--Prospek ekonomi global tampaknya masih akan mengalami masa sulit. Jika sebelumnya pertumbuhan ekonomi dunia dihantui isu trade war antara Amerika Serikat dan RRC, oil conflict di Timur Tengah yang juga melibatkan Rusia, hingga masalah instabilitas di Hongkong, kini masalah pandemi Covid-19 berpotensi menurunkan angka pertumbuhan ekonomi dunia. IMF sendiri telah memangkas 0,1 persen dari 3,4 persen menjadi 3,3 persen pertumbuhan ekonomi global menurut World Economic Outlook Oktober 2019.
Sementara itu, Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global di 2020 menjadi 2,7 persen dari sebelumnya 2,8 persen, sedangkan OECD memangkas pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen. Bahkan, pertemuan negara-negara yang dimotori oleh G-20 memprediksikan pertumbuhan ekonomi global berpotensi menjdi minus.
Pandemi Covid-19 dengan cepat ke berbagai belahan dunia tidak hanya menjadi isu kesehatan saja, tetapi telah menimbulkan implikasi terhadap prospek ekonomi global. Kebijakan isolasi wilayah negara maju seperti RRC untuk mencegah penyebaran virus telah berdampak pada sektor ekonomi strategis seperti industri pariwisata, sektor produksi dan distribusi hingga tenaga kerja. RRC berkontribusi hingga 17 persen ekonomi dunia dan memiliki hubungan ekonomi yang cukup kuat dengan Indonesia. Penurunan 1 persen dari pertumbuhan ekonomi RRC, berdampak 0,3-06 persen penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ini berarti target pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit direalisasikan di atas 5 persen sebagaimana proyeksi pemerintah. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 sebesar 4,9 persen. Begitu pula dengan Moody’s yang merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 4,8 persen.
Sementara itu, Sri Mulyani Indrawati, Menkeu RI, memperkirakan perlambatan ekonomi global di tengah pandemi Covid-19 akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan skenario terburuk 0% dan moderat tumbuh di atas 4%.
Apa Implikasinya?
Melambatnya ekonomi global di tengah pandemic Covid-19 telah berdampak pada pertumbuhan ekonomi semua negara, terutama negara-negara berkembang. Ekonomi setiap negara akan mengalami tekanan besar pada berbagai sektor seperti merosotnya kinerja ekspor, investasi tertekan, meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, serta terbatasnya ruang kebijakan fiskal dan moneter akibat peningkatan utang luar negeri. Industri manufaktur dan padat karya di Indonesia akan mengalami dampak signifikan ketika produksi dan distribusi harus mengatur shift kerja dan pengurangan jumlah tenaga kerja untuk menghindari penyebaran masif Covid-19. RRC sebagai negara pertama wabah Covid-19 terpaksa harus memangkas 12-15% sektor manufaktur akibat penyebaran Covid-19. Hal ini akan mengurangi pendapatan perusahaan sekaligus tenaga kerja dan berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini banyak ditopang oleh kenaikan tingkat konsumsi akan terdampak signifikan.
Dampaknya nyata dari ketidakmenentuan ekonomi global juga terlihat dari anjloknya pasar saham, secara year to date (ytd) kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat anjlok 31,25% (per 18 Maret 2020), Indeks Bursa Efek Filipina turun 24% (per 16 Maret 2020). Indeks FTSE MIB merosot hingga 38% dibandingkan posisi pada awal tahun (ytd) di Italia. Demikian pula indeks Hang Seng yang sudah turun hingga 15 %.
Situasi serupa juga terjadi di sektor pasar valuta asing. Mata uang Rupiah terdepresiasi terhadap valuta asing terutama Dollar AS. Nilai tukar 1 USD mencapai Rp 16.550 (per 23 Maret 2020) disertai dengan capital outflow mencapai hampir Rp. 100T. Di sektor perdagangan juga mengalami kondisi defisit neraca perdagangan per Januari 2020 sebesar US$ 870 juta. Sementara itu, sektor pariwisata yang menjadi andalan mengalami pukulan telak, setelah pertumbuhan wisatawan year on year hanya 4% di tahun 2019, maka tahun 2020 semakin turun. Kebijakan isolasi wilayah membuat kunjungan wisatawan asing maupun domestik turun drastis dan berdampak pada industri agen wisata, perhotelan dan maskapai penerbangan. Rontoknya pariwisata juga terjadi dengan Singapura dimana sektor pariwisata anjlok hingga 30%.
Langkah Antisipasi
Masalah perlambatan ekonomi ini harus mendapat perhatian serius dan disiapkan langkah kontingensi untuk mengatasi potensi berkembang menjadi krisis ekonomi. Beberapa isu penting dapat dirumuskan oleh para pengambil kebijakan sektor ekonomi diantaranya :
Pertama, menyiapkan simulasi dan skenario protokol manajemen krisis secara komprehensif dengan mengupdate variabel yang sesuai perkembangan ekonomi terkini. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki Protokol Manajemen Krisis (PMK) dalam sistem keuangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), yang memuat langkah pencegahan krisis dan penanganan krisis.
Kedua, stimulus kebijakan fiskal dan akses permodalan pada industri strategis yang terdampak, seperti sektor industri pariwisata dan industri padat karya serta yang berpotensi kolaps akibat pandemi Covid-19.
Ketiga, kebijakan insentif dan stimulus pada sektor kesehatan, social safety net (jaring pengamanan sosial), dan dunia usaha khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor rill perlu didorong agar bergairah karena menyangkut roda ekonomi rakyat sehari-hari. Langkah pemerintah dengan memberikan paket insentif Rp. 10 T untuk sektor tenaga kerja dan UMKM menjadi terobosan penting mengantisipasi krisis.
Keempat, efisiensi government expenditure terutama belanja rutin birokrasi. Selama ini belanja birokrasi menempati posisi tertinggi dalam postur APBN dan memiliki ruang yang memadai untuk dilakukan penyesuaian sesuai dengan prioritas anggaran pemerintah.
Kelima, realokasi anggaran baik pada level APBN maupun APBD untuk mendukung program kontingensi seperti penanganan pandemi Covid-19 dan stimulus pada sektor rill.
Keenam, meningkatkan belanja sosial dalam program-program bantuan sosial bagi masyarakat rentan terdampak dari perlambatan ekonomi. Bahwa pemerintah telah menjanjikan berbagai program sosial yang tentu dapat segera direalisasikan seperti alokasi anggaran bagi subsidi sektor pendidikan dan ketenagakerjaan.(**)
Oleh: Dr Ade Reza Hariyadi, penulis adalah doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) dan dosen.
Editor: Harian Momentum