Meniru Model Kolaborasi PTPN VII Unit Sungainiru

img
Pabrik pengolahan kelapa sawit (PPKS) PTPN VII Unit Sungainiru. Foto. Ist.

MOMENTUM, Muaraenim---Deru suara pabrik pengolahan kelapa sawit (PPKS) PTPN VII Unit Sungainiru saat melepas tekanan udara, pertengahan November 2019, itu mengagetkan Nurhadi. Pria mantan plasma mitra PTPN VII berumur 56 tahun, itu keluar rumah untuk memastikan asal suara dengan melihat ke langit di mana pabrik itu berada. Seperti refleks, ia mengucap syukur Alhamdulillah.

“Waktu pertama kali mendengar suara pabrik, saya merasa lega. Akhirnya, pabrik PTP (PTPN VII) ngolah lagi,” kata warga Desa Talangabas, Rambangniru, Muaraenim, Sumsel itu.

Ekpresi senang itu disampaikan Nurhadi saat hadir pada acara kerjasama olah PPKS PTPN VII Unit Sungainiru, Senin (20-11-19). Ia mengaku, sejak pabrik PTPN VII tidak beroperasi pada 2016, pasar buah kelapa sawit (TBS, tandan buah segar) terasa kurang kondusif.

“Kalau diibaratkan, Pabrik PTPN VII ini seperti Bulog. Kalau harga TBS di luaran turun, di sini tetap stabil. Jadi, pabrik luar nggak berani mainin harga. Sayangnya, sudah beberapa tahun lalu berhenti. Tetapi sekarang alhamdulillah ngolah lagi. Kami senang,” kata petani yang mengenal komoditas kelapa sawit dari PTPN VII ini.

Pengakuan Nurhadi tidak berlebihan. Ia mengaku berani mewakili suara petani kelapa sawit, terutama eks. Plasma PTPN VII di wilayah Muaraenim. Beroperasinya kembali pabrik sawit PTPN VII di Desa Jemenang itu menjadi angin segar iklim usaha kelapa sawit di wilayah Muaraenim. Selain harga TBS yang lebih stabil, ongkos angkut lebih murah kerena dekat, aneka biaya seperti potongan fraksi dan standar baku lainnya terkontrol.

Menanggapi statemen itu, Manajer PTPN VII Unit PPKS Sungai Niru, Gunawan memaklumi. Gunawan menjelaskan, secara historis, keberadaan PTPN VII di Sungainiru ini adalah “tangan” pemerintah membantu rakyat untuk membuka simpul ekonomi baru melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). PTPN VII ditugaskan membuka lahan dan menanam kelapa sawit, tetapi bukan untuk dimiliki korporasi.

“Sejarahnya kan memang kami (PTPN VII) ini menjadi mitra inti PIR pada 1980-an. Kami buka lahan, tanam sawit, tapi itu milik rakyat. Kami juga ditugasi bikin pabrik untuk menampung hasil panen mereka. Kemitraan ini selama 30 tahun. Jadi, wajar kalau mereka sangat dekat dan saling membutuhkan dengan kami,” kata Gunawan.

Sejak beberapa tahun lalu, kerja sama kemitraan perusahaan dengan petani plasma sudah berakhir. Tidak ada lagi kewajiban petani plasma untuk menjual dan mengolah TBS-nya ke pabrik PTPN VII. Seiring itu, pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit swasta muncul di sekitar lokasi. Mereka bersaing membeli TBS petani dengan harga lebih menarik dan berbagai kemudahan.

Menghadapi persaingan itu, PTPN VII yang hanya dibekali pabrik dan tidak diberi hak kebun oleh pemerintah sempat terseok seiring harga komoditas agro yang melemah pada 10 tahun terakhir. Pada 2016, pabrik sawit PTPN VII berhenti beroperasi karena tak bisa membeli TBS petani.

Kolaborasi dengan Swasta 

Investasi PTPN VII membangun pabrik berkapasitas 30 ton per jam itu sangat besar. Bukan hanya pabrik, perusahaan juga menanamkan modal untuk infrastruktur, juga mempekerjakan sumber daya manusia yang cukup banyak. Sementara, operasional pabrik berhenti, tetapi berbagai biaya seperti gaji dan fix cost lainnya tetap harus berjalan.

Jawaban atas stagnasi ini akhirnya terjawab dengan pengembangan model kerja sama olah (KSO) PTPN VII dengan pihak swasta. Adalah PT Sri Rejeki Putra Mandiri (SRPM). Perusahaan nasional yang bergerak di bidang fertilizer dan industri pupuk itu bersedia berkolaborasi dengan relasi saling menguntungkan.

“Sejak Juli 2019, kami sudah kerja sama dengan PT SRPM. Dan pada November 2019, kami mulai operasional kembali. Alhamdulillah sampai hari ini berjalan dengan baik. Ada fluktuasi olah, tetapi ini karena dipengaruhi musim. Kami sama-sama optimistis, pada musim puncak panen, target-target akan terlampaui,” kata Gunawan.

Dengan kerja sama ini, perubahan wajah menjadi sumringah bukan hanya terjadi pada 116 karyawan PTPN VII Unit Sungai Niru yang kembali bisa bekerja. Bagi warga dan petani sawit sekitar, bergulirnya produksi pabrik menjadi napas baru yang memberi harapan.

Sebagaimana Nurhadi, seluruh Kepala Desa di sekitar kebun plasma Sungai Niru disambangi oleh Gunawan dan staf. Gunawan menyebut, semua aparat pemerintah, dari bupati, camat, kepala desa, sampai para petani menginginkan PTPN VII jaya kembali.

Camat Rambangniru Fredy Febriansyah mengatakan, beroperasinya pabrik sawit PTPN VII Sungainiru sangat dinanti oleh masyarakat petani sawit. Sebab, BUMN ini dinilai bisa menjadi penjaga stabilitas komoditas sawit, terutama harga dan serapan produksi.

Selain itu, keberadaan PTPN VII yang merupakan perusahaan milik negara sangat memberi warna sekaligus ada kepedulian dengan warga sekitar. Ia berharap, kolaborasi PTPN VII dengan swasta melalui KSO yang saat ini dilakukan bisa menjadi jalan menuju kemandirian kembali.

Tentang model kerja sama dan manfaat, Manajer Sungainiru Gunawan menyatakan sangat baik. Selain ada pemasukan dari proses produksi, pihaknya juga mendapat transfer budaya kerja dari mitra.

“Dalam kerja sama ini, kami dapat upah Rp220/kg. Secara keseluruhan, pada kondisi sekarang, untuk bayar gaji karyawan sudah dari operasional pabrik. Pada musim panen nanti, kami perkirakan Rp1,4 M per bulan bisa masuk,” kata dia. (*).







Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos