Harianmomentum--Dalam pengertian sehari-hari, Masjid merupakan
bangunan tempat Sholat Umat Muslim dan tempat mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Selain itu, Masjid juga digunakan untuk kegiatan mengaji serta
ibadah-ibadah Agama Islam lainnya.
Masjid merupakan tempat
yang identik dengan umat Islam. Adapun pengertian Masjid berdasarkan tata
bahasa berasal dari bahasa Arab yakni Sajada – Yasjudu yang berarti taat,
patuh, tunduk dengan penuh hormat, tentunya kepada Allah SWT. Masjid adalah
tempat umat Muslim sekaligus pelabuhan tempat bersauh dalam ketaatan kepada
Allah SWT.
Dalam perkembangan umat
Islam, Masjid memiliki peranan strategis untuk kemajuan peradaban umat Islam.
Hal tersebut telah dibuktikan oleh perjalanan sejarah multifungsi peranan
Masjid. Masjid bukan saja tempat sholat, tetapi juga sebagai pusat pendidikan,
pengajian keagamaan, pendidikan dan fungsi-fungsi sosial serta ekonomi umatIslam.
Sejarah juga mencatat, bahwa Masjid Nabawi oleh Rasulullah difungsikan
sebagai Pusat ibadah, Pusat pendidikan dan pengajaran, Pusat
penyelesaian problematika umat dalam aspek
hukum (peradilan), Pusat pemberdayaan ekonomi umat melalui Baitul Mal
(ZISWAF), Pusat informasi Islam. Singkatnya, pada zaman Rasulullah, masjid
dijadikan sebagai pusat peradaban Islam.
Tak ubahnya di Indonesia,
Masjid tidak hanya sebagai pusat ibadah, akan tetapi sebagai pusat aktivitas
sosial. Masjid dijadikan sebagai wahana umat untuk bersilaturahmi dan
bermusyawarah membahas banyak hal yang bertujuan untuk kemaslahatan umat.
Selain itu juga menjadi tempat untuk mengembangkan pengetahuan agama dan sosial
kemasyarakatan.
Namun di masa penjajahan
Belanda, fungsi masjid agak dibatasi. Masjid hanya diperkenankan menjadi
tempat ibadah saja. Hal ini disebabkan oleh ketakutan kaum Belanda bahwa masjid
dapat dijadikan sebagai markas untuk melawan Belanda. Masjid memang bisa
menjadi tempat yang efektif untuk mengembangkan sikap anti penjajahan.
Melalui Dalih Jihad Fi
Sabilillah, maka menggelorakan semangat melawan penjajah akan sangat efektif
dilakukan di Masjid. Sebagai tempat yang suci, maka Masjid akan dapat digunakan
untuk membangkitkan semangat perlawanan tersebut. Namun itu merupakan
perjalanan sejarah pergerakan perjuangan rakyat Indonesia saat dijajah oleh
Belanda. Sedangkan saat ini Masjid harus dikembalikan fungsinya sebagai tempat
ibadah dan juga menjadi pusat pengembangan budaya Islam. Misalnya dengan
memperbanyak kegiatan yang diusung di dalam kerangka pengembangna peradaban
budaya Islam.
Pendiri Gerakan
Memakmurkan Masjid (Gemar), Achmad Subianto dalam seminar Penganugerahan Masjid
Percontohan dan Peluncuran ID Nasional 2016 yang digelar Kementerian Agama,
menekankan empat pegangan mengembalikan peradaban umat ke masjid yakni dengan
pahami Strength, Weakness, Oportunity dan Threats (SWOT) kembalikan masjid
sebagai pusat peradaban. Strength atau kekuatan, kata dia, yang dimiliki masjid
untuk menjadi pusat peradaban di antaranya adalah populasi Muslim di Indonesia
yang terbesar di dunia. Ada pula kehadiran kitab suci Al Qur'an yang sudah
dijelaskan Allah SWT sebagai cahaya, serta banyaknya ormas-ormas Islam yang
berdiri tegak.
Selanjutnya, harus
dipahami Weakness atau kelemahan dari kondisi yang ada seperti
perekonomian yang tidak dimiliki umat, dan pembinaan yang masih bergantung pada
APBN/APBD. Ada pula banyaknya status hukum masjid yang masih belum jelas,
kesediaan lisensi bagi khatib-khatib serta masih terbatasnya pemahaman
menejerial pengurus masjid. Subianto turut mengajak umat Islam memahami oportunity atau kesempatan yang ada, seperti kehadiran Baznas yang harusnya
diiringi kehadiran UPZ di masjid.
Selain itu, seharusnya
Badan Wakaf Nasonal sudah mampu hadir di masjid-masjing, termasuk memaksimalkan
potensi umat lewat banyaknya bank-bank syariah yang sudah ada. Terakhir,
Subianto mengingatkan umat Islam akan adanya threats atau ancaman
terhadap masjid, di antaranya legalitas masjid yang belum jelas, serta
perkembangan teknologi yang kadang belum mampu ditangkap. Ada pula media-media
sekuler dan aliran-aliran sesat yang berusaha memecah umat, terutama perilaku
koruptif yang masih ada.
Namun akhir-akhir ini,
beberapa kasus penyemaian paham radikalisme ada yang berawal dari Masjid
diantaranya, Masjid Darul Islah yang terletak di kawasan Bumi Serpong Damai
Kota Tangerang Selatan. Warga sekitar mulai merasa tidak nyaman dengan ceramah
dari Ustad Abu Jibril di Masjid Darul Islah yang berisikan penyebaran ajaran
yang dianggap terlalu ekstrim. Abu Jibril sendiri diketahui sebagai Ketua
Majelis Mujahidin Indonesia. Atas dasar itu, warga mendesak pengurus Masjid
untuk mundur.
Masjid sejatinya adalah
tempat umat Islam untuk menjalankan ibadah. Akan tetapi fungsi masjid mulai
disalahgunakan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab dan bahkan
Masjid kerap dijadikan tempat persembunyian kelompok teroris. Mereka sering
menyamar sebagai ustad yang melakukan dakwah keagamaan. Tidak jarang, mereka
juga memilih untuk tinggal di masjid sebagai marbot alias penjaga masjid. Salah
satu terduga teroris bernama Riza yang ditembak mati di Tulungagung beberapa
waktu lalu bisa dijadikan contoh. Dirinya menginap di masjid Al Jihad selama
tiga bulan dan menjadi guru mengaji bagi anak-anak.
Kedoknya tersimpan rapat
selama tiga bulan sampai Densus 88 mencium tempat persembunyiannya. Contoh
lain, seorang terduga teroris ditangkap Densus 88 di Makassar. Dia menyamar
sebagai imam sementara di Masjid Al-Mussabbihin Kompleks Bumi Sudiang Raya.
Penyamaran Farouk – terduga teroris di Makassar itu – sangat sempurna sehingga
warga sekitar tidak ada yang menyangka imam masjid itu anggota kelompok radikal
yang kerap melakukan aksi teror di sejumlah daerah.
Disamping itu, adanya
informasi bahwa puluhan masjid di 16 provinsi di Indonesia dituduh mendukung
kelompok teroris Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Tuduhan dukungan
terhadap ISIS termasuk menyebarkan ideologi dan merekrut militan untuk pergi ke
Suriah.Media Australia, ABC.net.au, mengungkap ada 41 masjid di 16 provinsi di
Indonesia yang jadi objek penelitian yang dilakukan atas nama Pemerintah
Indonesia. Dari jumlah tersebut, 16 masjid di tujuh provinsi dituding tim
peneliti sebagai pendukung kelompok ISIS. Tim peneliti melakukan kajiannya
dengan menyusup secara diam-diam ke tempat-tempat ibadah.
Data dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi menyebutkan,
rekaman audio berisi ajaran radikal tidak dapat diberikan kepada media, karena
milik Pemerintah Indonesia. Dalam penelitiannya, mengidentifikasi tiga jenis
masjid. Pertama, masjid umum yang digunakan oleh simpatisan ISIS tanpa
sepengetahuan pengurus. Kedua, masjid di mana pengurusnya terkait dengan
kelompok yang berafiliasi dengan ISIS, tapi jamaahnya tidak. Ketiga, masjid
swasta di mana pengurus dan kongregasi keduanya mendukung kelompok ISIS.
Beberapa contoh kasus itu
membuka mata kita bahwa fungsi masjid yang selama ini sebagai tempat ibadah
telah disalahgunakan. Masjid kerap dijadikan tempat persembunyian anggota
kelompok radikal.
Direktur Riset Pusat Studi
Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang, Nafi Mutohirin, mengatakan bahwa Masjid menjadi tempat aktivisme
politik adalah hal biasa. Baik di Mesir, Turki, maupun Indonesia, Masjid selalu
menjadi ruang pergerakan, propaganda, ideologisasi, bahkan perekrutan anggota
baru kelompok politik Islam.
Hal yang serupa ditulis
dalam buku Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo,
monograf yang diterbitkan Center for the Study of Religion and Culture,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (2010), diketahui Masjid juga
menjadi medan kontestasi politik. Kekuasaan di sini bukan berarti jabatan
politik atau teritori, tetapi medan dakwah, yang memperebutkan hegemoni
ideologi, mazhab, dan aliran. Bahkan KH Hasyim Muzadi pada 2009 mengingatkan
umat Islam agar waspada terhadap gejala ideologi transnasional.Gerakan transnasional
yang dimaksud adalah gerakan seperti Ikhawanul Muslimin, Jaulah , Al-Qaeda, dan
Islam Liberal. Menurutnya, ideologi semacam itu bertentangan dengan arus utama
Islam Indonesia yang selama ini toleran.
Masyarakat muslim yang
mayoritas di Indonesia perlu menyadari bahwa adanya terorisme adalah “by
design”. Hillary Clinton pernah keceplosan seperti ini. Pada 2013, Hillary
Clinton menonjol sebagai calon presiden Amerika Serikat. Saat itu ia
mengungkapkan sesuatu yang membuka mata publik luas. CNN menyiarkannya.
Dunia pun tetap bisa
menontonnya melalui Youtube. "Jangan lupa," ujar Hillary,
"terorisme yang kini kita perangi, kita ikut membiayainya 20 tahun lalu.
Kita rekrut mujahidin, kita biarkan mereka datang dari Arab Saudi dan negara
lainnya untuk mengimpor paham Wahabi. Kita gunakan mereka untuk mengalahkan Uni
Soviet."
Berkaca dari banyak data,
fakta dan pendapat kalangan pakar di Indonesia, maka kita harus melakukan
revitalisasi masjid sebagai pusat peradaban Islam, sekaligus epicentrum dan
“core point” dalam pemberantasan terorisme dan radikalisme, sebab dengan
menjadikan masjid sebagai pusat perlawanan terorisme dengan cara-cara anti
kekerasan dan penghormatan terhadap HAM, maka akan menimbulkan partisipasi
masyarakat muslim semakin menguat dalam deradikalisasi.
Pelibatan pengurus masjid
dalam memberantas dan mencegah terorisme sangat penting mengingat adanya
informasi bahwa sepanjang Januari s.d Juni 2017, 161 orang atau 52 KK WNI dari
12 provinsi yang dideportasi dari Turki karena akan bergabung dengan ISIS telah
kembali ke Indonesia.
Berdasarkan data LSM
C-Save, provinsi dengan pengikut terbanyak adalah Jabar (13 KK), Jatim (10 KK),
Jateng (8 KK), Lampung (5 KK), Jakarta dan Banten (4 KK), Sumbar, Jambi,
Kalbar, Aceh, Batam dan Sumsel (1 KK). Jabar telah menjadi basis kelompok
radikal DI/TII atau NII. Dari Jabar, DI/TII dan NII menyebar ke Aceh,
Sulsel dan Kalbar. Jateng dikenal basis JI dan JAT. Menurut Solahudin, dari
Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI), banyak
aktivis radikal di Jateng, DIY, Jatim dan Sumut hasil rekrutan simpatisan
Masyumi yang kecewa kebijakan politik Orba.
Revitalisasi Masjid
Sebagai Pusat Peradaban Islam
Saat ini, hampir sangat
sulit mendapatkan masjid yang difungsikan secara ideal menurut sunnah
Rasulullah saw. Secara umum, menurut Kemenag tahun 2010, bila dicermati
perkembangannya dewasa ini masih banyak pengurus masjid yang lebih
memperhatikan kemegahan bangunannya. Inilah yang ditenggarai menjadi penyebab
terhambatnya kemajuan Islam.
Melihat fenomena yang
terjadi, maka perlu adanya tindakan konkrit untuk segera mengembalikan fungsi
daripada masjid. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah inovatif sehingga
masjid dengan fungsi strategis dapat menjadi pusat peradaban masyarakat
diantaranya, Mengaktifkan Majlis Taklim yang ada Masjid untuk menghindari
kejenuhan Jemaah; Mengadakan berbagai jenis pelatihan dan seminar sekaligus
untuk menambah kemampuan pengurus masjid maupun Jemaah; Mengikutsertakan
remaja-remaja Masjid sebagaiagent
of change (agen perubahan) dengan
beragam ide yang inovatif dalam mengembangkan kemakmuran Masjid; Menjadikan
Masjid sebagai pusat ilmu dengan keberadaan perpustakaan masjid yang berisi
tentang ilmu-ilmu Agama; Bersinergi dengan Pemerintah dan masyarakat dengan mengoptimalkan
fungsi sosial masjid; Mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan TPA sebagai
pendidikan karakter anak usia dini dengan fondasi ke-Islaman yang kuat. Seperti
halnya yang diajarkan Rasulullah bahwa pendidikan dimulai dengan Aqidah sebagai
fondasi, ibadah, akhlak, serta dilanjutkan dengan mu’ammalah.
Dengan upaya memakmurkan
Masjid dan mengembalikan fungsi Masjid sebagai pusat kebudayaan Islam, maka
niscaya upaya kelompok-kelompok radikal yang memanfaatkan Masjid menjadi tempat
persemaian ide-ide menyerukan kebencian terhadap rezim Pemerintah dan bahkan
sebagai Markaz konsolidasi teror tidak akan bisa terjadi, karena sudah
terbangunnya kesadaran masyarakat akan fungsi Masjid yang sebenarnya. Islam
mengajarkan kita untuk cinta damai karena Islam agama Rahmatan Lil Alamin.(*)
Editor: Harian Momentum