MOMENTUM, Bandarlampung--Pengacara pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Bandarlampung nomor urut 03, Juendi Leksa Utama, angkat bicara soal dilaporkannya Eva Dwiana ke Mapolda Lampung atas tuduhan menggunakan ijazah S2 palsu saat mendaftar ke KPU.
Laporan itu dilayangkan oleh organisasi Informasi Sosial Indonesia (Infosos) Provinsi Lampung, didampingi tim kuasa hukum Yutuber, Senin (4-1-2021).
Juandi mengaitkan laporan tersebut dengan perkara dugaan pelanggaran administratif tersetruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada Pemilihan Walikota (Pilwakot).
"Jika dihubungkan dengan perkara pemeriksaan di Bawaslu, kita melihat hal ini (laporan ke Mapolda, red) tidak baik lah, ini kan mengganggu proses yang ada," kata Juendi kepada harianmomentum.com, Selasa (5-1-2021).
Dia merasa heran, kenapa laporan tersebut baru diadukan ke Mapolada Lampung pada Senin (4-1).
Padahal, majelis pemeriksa dugaan pelanggaran administratif TSM hendak memutus perkara tersebut pada Rabu (6-1).
"Kami sebagai kuasa hukum 03 menganggap bahwa hal-hal yang secara subjektivitas untuk menjegal prinsipel kita seperti ini adalah hal yang tidak seharusnya tidak terjadi," sambungnya.
Meski demikian, dia mempersilahkan tim advokasi Yutuber untuk melanjutkan laporannya ke Mapolda Lampung. Sebab itu adalah hak warga negara.
"Dari sini (laporan ke Polda, red), kita melihat bahwa ada ketidakyakinan (pelapor), bahwa pembuktian mereka selama ini bisa meyakinkan majelis pemeriksa," katanya.
Meski demikian, Juendi mengakui bahwa secara khusus dia belum diminta untuk menangani perkara di Mapolda tersebut.
"Kami belum terima laporan terkait hal itu, baru tahu dari media. Sekarang kami masih fokus ke perkara dugaan pelanggaran administrasi TSM yang besok akan diputuskan," ucapnya.
Baca juga: Dugaan Ijazah Palsu, Calon Walikota Diadukan ke Mapolda Lampung
Soal perkara dugaan pelanggaran administrasi TSM, mereka meyakini laporan terlapor akan ditolak.
"Banyak asas hukum yang dilanggar dalam proses pembuktian pelapor. Mulai dari alat bukti yang dilaporkan, hingga saksi-saksi yang dihadirkan," kata dia.
Asas tersebut, meliputi asas testimoni de auditu atau keterangan kata orang (tdk dialami sendiri) dan asas unus testis nullus testis (satu saksi, bukan saksi).
"Satu saksi itu bukan saksi. Seharusnya dalam satu peristiwa itu minimal dua saksinya. Tapi dalam sidang, saksi yang dihadirkan pelapor, satu peristiwa satu aksi. Ini sudah melanggar," ucapnya.
Karenanya, kata Juendi, pembuktian yang disampaikan pelapor semuanya dapat dengan mudah dibantah. "Maka dalam hal ini, alat bukti pelapor harus dikesampingkan," tegasnya.
Sebab, sambung dia, alat bukti dan saksi yang dihadirkan di persidangan tersebut semestinya tidak boleh menjadi dasar pertimbangan majelis pemeriksa dalam memutus perkara dugaan pelanggaran administratif TSM. "Menimbang hal itu, kami yakin majelis akan menolak perkara TSM untuk seluruhnya," ujarnya.(**)
Laporan/Editor: Agung Chandra W
Editor: Harian Momentum