Bangunannya Dibongkar, Warga Wayhui Segera Gugat Pemprov

img
Lokasi bangunan yang dibongkar Pemprov Lampung beberapa waktu lalu.

MOMENTUM, Bandarlampung--Warga Wayhui Kecamatan Jatiagung Lampung Selatan yang bangunannya ditertibkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung segera melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Kalianda.

Gugatan itu merupakan yang kedua kalinya. Sebab, pada 16 April 2021, masyarakat telah melayangkan gugatan perdata ke PN Kalianda terkait dengan kepemilikan lahan tersebut.

Hal itu disampaikan Agus, kerabat dari salah satu pemilik bangunan yang dibongkar Pemprov Lampung Sudaryanto saat dihubungi harianmomentum.com, Rabu (21-4-2021).

Agus menganggap pemprov tidak menghargai proses hukum yang sedang berlangsung. Karena langsung merobohkan bangunan tanpa menunggu adanya status hukum yang sah dari PN Kalianda.

"Kalau kita sudah mengajukan gugatan perdata otomatis status (tanah) quo. Tidak bisa diganggu gugat, kita tunggu keputusan inkrahnya dulu. Tapi kok mereka semena-mena seperti itu," sebutnya.

Karena itu, mereka sedang menyusun gugatan kedua berikut dengan kerugian yang dialaminya akibat pembongkaran bangunan di lahan tersebut.

"Malam ini kita akan rapatkan untuk mencabut gugatan pertama dan melayangkan gugatan yang kedua. Berikut dengan kerugiannya, karena waktu gugatan pertama hanya terkait kepemilikannya saja," sebutnya.

Dia bersama pada pemilik bangunan yang ditertibkan pemprov siap memperjuangkan lahan tersebut di pengadilan negeri. Sebab, warga memiliki bukti kepemilikan lahan tersebut. Sehingga mereka berani melakukan gugat ke PN Kalianda. 

"Kami menggugat karena ada dasarnya, ada bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Jadi ini sampai kapanpun akan kami perjuangkan," tegasnya.

Dia juga menceritakan, pada 1977 Jamsari menghibahkan tanahnya ke anaknya yang bernama Acep Suriyadana alias Cecep. Namun, Agus tidak mengetahui luas tanah yang dihibahkan ke Acep. 

Setelah itu, Acep alias Cecep menjual tanah tersebut kepada Lindriyati Solfian pada tahun 1984. "Berapa luasnya saya juga tidak tahu," terangnya. 

Kemudian tahun 2011, Lindriyati Solfian menjual tanah tersebut ke Pemprov untuk pembangunan jalan menuju Kotabaru. "Tanah itulah yang sudah dijadikan jalan oleh pemprov," ujarnya.

Sedangkan Sudaryanto mendapatkan hibah tanah dari Jamsari pada 1983 seluas 2.500 meter persegi. "Berbentuk segel atau surat hibah," ujarnya.

Setelah dikuasai Sudaryanto, tahun 2013 tanah itu dijual kepada Adi Giwok seluas 300 meter persegi. Ditahun yang sama, Sudaryanto kembali menjual tanah ke Abas seluas 1.200 meter persegi.

"Itu suratnya berbentuk sporadik. Jadi yang total tanah dijual 1.500 meter persegi. Tersisa seribu meter persegi yang dimiliki Pak Sudaryanto," terangnya.

Dia melanjutkan, pada tahun 2015 Abas kembali menjual tanah itu kepada Harun, Sutarman, Yanto dan Okta masing-masing 60 meter persegi.

"Itu berdasarkan AJB (Akta Jual Beli) Notaris Gusti Ayu. Tahun 2017, mereka membangun sampai 2018 baru jadi bangunan itu," tuturnya.

Atas dasar tersebut, dia meyakini pemprov salah mengklaim tanah milik Sudaryanto berbeda. Sebab, tanah milik Sudaryanto berada di sisi kiri jalan. Sedangkan tanah milik Acep yang dijual ke Lindriyati berada di sisi kanan jalan. 

"Saya yakin, lokasi tanah seluas 1.881 meter persegi bukanlah tanah milik Sudaryanto. Makanya kami berani menggugat secara perdata," jelasnya. (**)

Laporan/Editor: Agung DW






Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos