MOMENTUM, Bandarlampung--Kalau sudah mendekati Hari Raya Idulfitri, tak afdol rasanya jika tidak mudik. Terutama bagi yang jauh dari kampung halaman.
Karena kata mudik itu sendiri, sesuai dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti pulang ke kampung halaman. Ada juga beberapa istilah akronim lain yang mengartikan mudik yakni menuju udik, mulih dilik, mudun balik dan lain-lain.
Alasan masyarakat melakukan mudik pun biasanya karena rindu dengan orangtua, ingin silaturahmi dengan kerabat, ziarah makam sanak saudara atau ada juga karena sambil ingin jalan-jalan bertamsya.
Di Indonesia, mudik sudah menjadi akar tradisi dan budaya yang kuat karena terdapat nilai-nilai sosial dan spiritual yang terkandung didalamnya. Budaya silaturahmi dan saling mengunjungi dari rumah ke rumah saat Idulfitri adalah bentuk interaksi sosial yang harus terus dijaga dan jangan sampai pudar. Karena pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial.
Kemudian tradisi nyekar yakni tradisi ziarah kubur atau mengunjungi makam anggota keluarga yang telah meninggal sambil memanjatkan doa bagi arwah yang telah dikuburkan, merupakan salah satu kandungan spiritual yang menyebabkan seseorang harus melakukan mudik. Bahkan dalam perspektif hukum agama, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa mudik bersifat sunah.
Tak hanya di Indonesia, mudik saat perayaan Idulfitri juga dilakukan oleh banyak negara yang masyarakatnya menganut agama Islam, baik mayoritas maupun minoritas. Seperti Malaysia misalnya, negara yang masih satu rumpun ini melakukan tradisi mudik. Meskipun bahasa yang dipakai di Malaysia bukan mudik tetapi ‘balik kampung’.
Bangladesh, Turki, Arab Saudi, India adalah beberapa negara yang juga melakukan budaya mudik.
Pada situasi pandemi saat ini, ternyata aktivitas mudik menjadi sesuatu yang turut berperan besar dalam resiko penyebaran virus corona. Migrasi penduduk dengan jumlah yang signifikan, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain akan berpotensi melemahkan penerapan herd immunity.
Penerapan herd immunity ini dalah suatu bentuk perlindungan secara tdak langsung dari serangan penyakit menular yang terbentuk ketika sebuh populasi memiliki imunitas/kekebalan.
Prediksi akan terjadinya lonjakan kasus penyintas Covid-19 pada momen mudik lebaran harus cepat dibaca dan direspon oleh pemerintah melaui kebijakan regulasi dan implementasinya.
Pemerintah melalui Satgas Penanganan Covid-19 baru-baru ini telah mengeluarkan addendum Surat Edaran Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri dan Upaya Pengendalian Penyebaran covid-19.
Tujuan dari surat edaran ini pun sangat logis yakni untuk mengantisipasi peningkatan arus pergerakan penduduk yang berpotensi meningkatkan penularan Covid antar daerah. Pasca terbitnya kebijakan mengenai larangan mudik ini, muncul beragam respon dari masyarakat. Ada yang pro dan ada juga yang kontra.
Pihak yang pro menilai bahwa langkah pelarangan mudik jelang perayaan hari besar agama Islam sudah tepat karena melihat sisi manfaatnya lebih besar daripada sisi buruknya. Pada bagian lain, pelarangan mudik adalah bentuk pembelajaran atas apa yang terjadi di India.
Berdasarkan situs berita yang beredar, awal mula lonjakan dahsyat dengan angka mencapai 300.000 kasus per hari di India, merupakan rekor kasus penularan terbanyak di dunia, hal itu terjadi karena dipicu adanya festival keagamaan Kumbh Mela.
Festival Kumbh Mela atau festival kendi dari India adalah salah satu ritual paling suci dalam agama Hindu. Ritual yang dirayakan empat kali selama 12 tahun itu dilakukan dengan cara mandi dan berendam bersama di sungai Gangga yang dipercaya sebagai tempat suci yang dapat membebaskan diri dari dosa dan dapat membawa keselamatan. Yang terjadi kemudian justru adalah malapetaka badai Covid melanda India.
Nah kembali lagi, sekarang bagaimana pandangan orang-orang yang kontra dengan kebijakan larangan mudik? Ternyata ada inkonsistensi kebijakan pemerintah yang membuat bingung masyarakat.
Saat aktivitas mudik dilarang, justru aktivitas pariwisata dan aktivitas kerumunan yang terjadi di pusat perbelanjaan tidak terkendali. Dengan dalih menjaga stabilitas perputaran ekonomi, namun tetapa saja tidak akan sebanding dengan biaya penanganan virus corona yang semkain besar dan masif.
Dilansir dari salah satu kabar yang tersiar di https://harian.kompas.com berjudul “Ratusan Pemudik Terobos Penyekatan di Karawang’’, menjadi bukti lemahnya punishment terhadap para pelanggar kebijakan serta lemahnya implentasi di lapangan yang dilakukan oleh petugas yang berwenang. Yang terjadi masyarakat kemudian malah berupaya mencari akal dan celah agar tetap bisa mudik.
Anomali tersebut semakin menandaskan ketidak-setujuan pihak yang kontra terhadap larangan mudik.
Mudik secara hakikatnya memiliki relevansi dengan makna Idulfitri yaitu kembali pulang pada fitrah. Selesainya ibadah Ramadan yang dijalankan selama sebulan penuh menjadikan insan yang kembali suci ibarat bayi yang baru saja lahir dan bersih dari dosa-dosa.
Mudik menjadi sebuah konotasi usaha kembalinya manusia terhadap asal usul penciptaanya. Mudik dapat menjadi perenungan perjalanan awal pencarian jati diri yang dimulai saat masa kecil, dewasa hingga tak terasa semakin menua. Di kampung halaman kita masing-masing itulah kita bisa menemukan ihwal perenungan itu.
Kini dengan adanya virus menular bernama corona, membatasi gerak langkah kita seluruhnya.
Apa daya, kesehatan dan keselamatan diri, keluarga dan lingkungan yang ada di kampung halaman harus menjadi prioritas penting yang harus dijaga.
Mudik dengan segala kemaslahatannya, masih mungkin dilakukan dengan cara dan media yang berbeda. Jika kita rindu orangtua dan sanak saudara, barangkali masih bisa diobati dengan pertemuan tatap muka dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang semakin canggih.
Untuk memberikan sebentuk kebahagiaan, bisa dilakukan dengan cara memberikan bingkisan dan aneka kebutuhan melalui jasa pengiriman pos. Transfer uang untuk bekal kebutuhan saudara di kampung halaman juga setidaknya bisa membantu meringankan di tengah situasi sulit seperti ini. Atau bagi yang punya pacar di kampung halaman, rajin-rajinlah komunikasi melalui Zoom dan video call.
“Lebaran ini aku tanpamu Dik. Sehat selalu ya disana” Sepenggal kalimat dalam percakapan kepada pasangan yang mungkin bisa anda disampaikan. Salam.
Oleh: Eko Prasetyo, Pegiat Literasi asal Kabupaten Waykanan.
Editor: Harian Momentum