MOMENTUM, Yogyakarta--Perangkat teknologi memudahkan setiap orang mengakses informasi. Hal itu berimbas pada terpenuhinya berbagai kebutuhan. Tak terkecuali dunia perbukuan, literasi, dan aktivitas membaca.
Menjamurnya buku digital (e-book) sebagai dampak perkembangan teknologi informasi membuat aktivitas membaca jadi lebih mudah dan terbuka. Perilaku membaca masyarakat pun berubah. Kemunculan buku elektronik itu sendiri belum bisa dikatakan sebagai pertanda akhir era buku cetak sehingga Hari Buku Nasional setiap tanggal 17 Mei tetap diperingati.
Suharyanto Mallawa, dalam artikel “Intip 5 Serba-serbi Penerbitan di Indonesia” memaparkan jumlah penerbitan buku cetak kurun waktu 2015-2020 sebanyak 404.097 judul. Kalau dirata-rata berarti setiap tahun terbit 67.340 judul. Kemudian dari hasil pemilahan jenis penerbit, terdapat rata-rata 2.984 penerbit komersial dan 2.307 penerbit non komersial per tahun.
Jumlah penerbitan sekian membuat Indonesia dikatakan sebagai salah satu surga buku, tapi minim minat baca. Komunitas dan klub buku, kegiatan diskusi buku, hingga aksi nyata penggiat taman bacaan di pelosok negeri sesungguhnya eksis.
Aktivitas literasi berbekal buku bacaan gencar dilakukan untuk menunjukkan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia cukup bagus. Bukan seperti yang sering dipublikasikan melalui survei lembaga dunia.
Pandemi Covid-19 memang membuat berbagai bidang kehidupan mengalami keterpurukan.
Begitu juga dengan dunia perbukuan. Survei Ikatan Penerbit Indonesia menunjukkan betapa lesu penjualan buku cetak. Masa pandemi mengakibatkan 58,2% penerbit mengalami penurunan penjualan lebih dari 50% dari biasanya. Sementara 31% - 50% dialami sebanyak 26,9% penerbit dan 8,2% penerbit mencapai penurunan antara 10%-30%. Sisanya 4,1% kondisi penerbit relatif sama seperti biasa.
Selain pandemi, kemunculan buku digital ditengarai sebagai penyebab lesunya penjualan buku. Buku digital memengaruhi perilaku membaca masyarakat. Kemudahan yang disuguhkan produk berbasis teknologi informasi itu mempunyai daya tarik yang cukup besar.
Bagi para aktivis atau penggiat literasi, e-book tidak dipandang sebagai hambatan bagi tumbuhnya kegemaran membaca. Kehadiran e-book justru menjadi tantangan memasifkan kembali sejumlah gerakan literasi yang sudah diluncurkan Pemerintah. Upaya memasyarakatkan buku tetap berjalan di tengah tren buku digital.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pasal 48 ayat (1) menyebutkan bahwa pembudayaan kegemaran membaca melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Kewajiban Pemerintah terkait pembudayaan membaca di lingkup keluarga adalah memfasilitasi buku murah dan berkualitas. Satuan pendidikan diisyaratkan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan.
Kegemaran membaca di lingkungan masyarakat berupa penyediaan sarana perpustakaan di tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu.
Mengacu Undang-undang Perpustakaan, nampak bahwa buku menjadi sarana utama. Bukan internet, komputer, laptop, atau ponsel, meskipun semua perangkat ini cukup mampu memfasilitasi kebutuhan membaca.
Setiap orang punya sikap dan pandangan berbeda terhadap buku cetak dan elektronik. Bagi penikmat kedua jenis bacaan itu, sama-sama memerlukan dorongan tersendiri guna menuntaskan isinya. Namun, nikmat membaca buku secara fisik tidak akan pernah tergantikan. Setidaknya demikian kesan yang tergambar dari para penggemar buku cetak.
Orang yang sudah sangat akrab dengan buku merasa nyaman ketika membaca secara fisik. Membaca melalui perangkat ponsel hanya menjadi selingan saat buku memang belum diperoleh. Ada yang memilih mencetak dahulu materi e-book, baru kemudian membacanya karena alasan kenyamanan. Membaca buku cetak lebih memberikan kesejukan pada mata apabila berlangsung dalam waktu lama.
Ada beberapa alasan lain mengapa buku cetak masih mampu bertahan di tengah gempuran perangkat teknologi yang menyuguhkan beragam informasi. Gerakan literasi masih diarahkan membaca buku cetak. Pembudayaan kegemaran membaca juga masih mengarah ke buku cetak.
Bila suatu institusi menyelenggarakan kegiatan bedah buku, maka materi yang dibagikan adalah buku cetak, bukan buku digital. Para penggiat read aloud dan pendongeng masih mengedepankan fisik buku sebagai media pendukung. Hal tersebut cukup membantu pengenalan wujud dan bentuk buku terutama kepada anak-anak.
Buku cetak tetap memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri dibanding e-book. Sebagai contoh buku dapat dijadikan latar belakang sebuah sesi pemotretan.
Instagramable istilah populer di era milenial. Image orang membawa buku pasti berbeda dengan orang yang pegang ponsel. Sebuah buku akan memunculkan nuansa cerdas intelektual. Membaca buku memberi kesan seorang pembelajar, sedangkan ponsel membawa kesan bermacam-macam.
Anak-anak yang diizinkan memakai ponsel cenderung bermain game, chatting, atau aktivitas lain di luar membaca.
Aktivitas menggunakan ponsel sulit dikontrol, sebaliknya aktivitas membaca buku mudah sekali terpantau. Belum ada sejarahnya budaya membaca ditumbuh-kembangkan kepada anak bermodal ponsel.
Tidaklah heran ketika produk-produk industri seperti ponsel, selalu menyertakan semacam handbook atau buku petunjuk di setiap paket pembelian.
Secara tidak langsung, masyarakat diarahkan supaya membaca sebelum menggunakan sebuah produk. Mau tidak mau, setiap orang harus membaca dan mendalami manualnya dahulu agar lancar mengoperasikan perangkat.
Membudayakan kegemaran membaca memang tidak mudah, tetapi bisa diupayakan. Terkait hal ini dibutuhkan aksi nyata yang dimulai dari keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Di samping itu, alokasi waktu khusus membaca, ketersediaan buku tercukupi, serta bimbingan sejak usia dini menjadi faktor penentu buku kembali digemari. (**)
Penulis: Muhammad Mufti AM (Pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bantul, Yogyakarta)
Editor: Harian Momentum