MOMENTUM, Bandarlampung--Koalisi Pembela Kebebasan Pers Lampung mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus larangan peliputan oleh tiga oknum satuan pengaman (Satpam) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandarlampung.
Juru Bicara Koalisi Pembela Kebebasan Pers Lampung, Rendy Mahardika mendorong kepolisian agar bekerja secara profesional, dalam menangani kasus yang dialami dua wartawan: Salda Andala (Lampung Post) dan Dedi Kapriyanto Lampung Televisi (Tv).
"Khusunya terkait laporan pewarta yang menjadi korban kekerasan saat meliput di kantor BPN Bandarlampung itu," kata Rendy, Rabu (26-1-2022).
Selain itu, koalisi pembela pers tersebut juga mendesak aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis.
"Kepolisian bersikap aktif dan responsif terkait kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis," ujarnya.
Kemudian, meminta perusahaan pers bertanggung jawab atas keselamatan jurnalisnya.
"Berkomitmen pada kebebasan pers dan tidak permisif terkait kekerasan terhadap jurnalis," pintanya.
Karena itu, dia mengimbau agar semua pihak menghormati kerja-kerja jurnalistik serta meminta wartawan mengedepankan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) saat peliputan.
Diketahui, koalisi itu, antara lain: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pengurus Daerah Lampung Pewarta Foto Indonesia (PFI) Lampung serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Lampung.
Diberitakan sebelumnya, dua wartawan yang diduga korban intimidasi tiga oknum Satpam BPN Kota Bandarlampung melapor ke polisi.
Kedua wartawan itu, Salda Andala dari Lampung Post dan Dedi Kapriyanto dari Lampung Televisi, melaporkan tiga satpam tersebut ke Polresta Bandarlampung. Nomor laporannya: LP-B-200-1-2022-SPKT-Polresta Bandarlampung-Polda Lampung.
Ketiga satpam tersebut dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan intimidasi terhadap Salda dan Dedi saat melakukan tugas jurnalistik meliput di BPN Bandarlampung.
Kedua wartawan itu mengalami kekerasan verbal. Kamera dan telepon genggamnya sempat dirampas satpam di halaman kantor BPN.
"Kami melaporkan tiga oknum petugas keamanan atas nama Haris Wahyu, Mira dan satu lagi kami tidak mengetahui namanya," kata Dedi, Selasa (25-1-2022).
Menurut dia, laporan itu juga karena tidak ada iktikad baik dari ketiga satpam tersebut. Misalnya, menghubungi atau menjelaskan alasan melarang wartawan melakukan peliputan di BPN.
"Tidak ada iktikad baik dari para satpam untuk menghubungi kami dan menjelaskan secara langsung," sebutnya.
Menurut Salda Andala, perlakuan tiga satpam itu dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 18 (1) tentang Pers.
"Mereka telah menghalang-halangi kinerja wartawan menjalankan tugas jurnalistiknya," kata Salda.
Berdasarkan undang-undang itu, jurnalis dalam menjalankan tugasnya dijamin dan mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Untuk itu, wartawan dilindungi undang-undang.
Karena itu, dia meminta aparat kepolisian segera memanggil ketiga satpam tersebut guna memberikan keterangan.
"Kami serahkan semua prosesnya kepada kepolisian. Harapannya, kasus ini segera ditangani dengan baik," harapnya.
Diberitakan sebelumnya, tiga oknum Satpam BPN Kota Bandarlampung melarang wartawan meliput, Senin (24-1-2022).
Bahkan, dua wartawan, Salda Andala (Lampung Post) dan Dedi Kapriyanto Lampung Televisi (Tv), sempat mengalami kekerasan verbal.
Seperti yang tergambar dalam video yang beredar, tiga oknum satpam terlihat berupaya merampas kamera dan telepon genggam wartawan di halaman kantor BPN setempat. Mereka meminta wartawan untuk menghapus rekaman video yang sempat diambil wartawan.
Kepada harianmomentum.com, Salda mengatakan awalnya dia bersama Dedi mendapat informasi jika puluhan kelompok masyarakat (pokmas) akan menyambangi BPN.
Warga itu akan mempertanyakan soal kepengurusan sertifikat lahan yang sudah diurus sejak 2017, namun belum selesai hingga saat ini.
“Kami dari pagi sudah ada di lokasi karena ada info dari pokmas. Nah, saat pokmas sudah kumpul dan ingin masuk ke dalam kami langsung mengambil gambar,” jelasnya.
Namun, langsung dihalangi oleh oknum satpam bernama Haris Wahyu. Dia menanyakan surat tugas kepada wartawan.
Hal senada disampaikan Dedi. Saat dia megambil gambar anggota pokmas saat masuk ke kantor BPN, langsung dihalangi satpam.
"Saya mengambil gambar puluhan pokmas itu yang hendak masuk ke Kantor BPN dari halaman depan," kata Dedi kepada harianmomentum.com.
Tak berselang lama, satpam bernama Haris Wahyu langsung menanyakan surat tugas. "Lalu saya jawab, ini ada kartu pengenal pers. Namun tidak digubris," jelasnya.
Kemudian, satpam wanita berambut pendek juga mendatangi mereka dan langsung memarahi wartawan. Keduannya tidak memperbolehkan wartawan meliput dengan dalih tidak mengantongi surat izin. Juga beralasan adanya privasi di Kantor BPN Kota Bandarlampung.
Karena itu, Dedi lantas mempertanyakan sikap satpam yang melarang keduanya meliput di halaman kantor tersebut.
"Saya jawab privasi dari mana? Ini untuk kepentingan publik. Bukan kepentingan pribadi, karena untuk pemberitaan terkait puluhan pokmas yang datang ke BPN," paparnya.
Mendengar hal itu, satpam wanita langsung mencengkeram kamera Dedi hingga tak dapat difungsikan. Bahkan sempat error.
"Dari situ saya berupaya mengeluarkan handphone dan sempat merekam sekitar tujuh detik. Tapi mau diambil juga handphone saya, namun tidak berhasil. Saya juga sempat didorong," terangnya.
Di penghujung perdebatan, satpam lainnya meminta Dedi dan Salda menghapus video yang sempat mereka rekam.
"Ada tiga orang satpam, salah satunya meminta kami menghapus video. Setelah dari situ saya dan Salda keluar dari halaman Kantor BPN," sebutnya.
Diketahui, puluhan warga itu hendak menanyakan sertifikat mereka yang tak kunjung selesai oleh BPN Kota Bandarlampung sejak 2017.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, terdapat sekitar 35 sertifikat tanah milik warga Kelurahan Sumberejo, Kecamatan Kemiling yang tak kunjung diterbitkan oleh BPN.
Karena itu, puluhan warga itu telah berulang kali mendatangi kantor BPN Kota Bandarlampung. Namun tak membuahkan hasil.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan pihak BPN setempat belum berhasil dikonfirmasi. Kabag Tata Usaha BPN Bandarlampung Nina Windiyalika tidak merespon saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Wakil Ketua Bidang Pembelaan Wartawan PWI Provinsi Lampung Juniardi mengecam aksi intimidasi dan arogansi tiga satpam tersebut.
"Aksi intimidasi terhadap wartawan dan perampasan alat kerja itu, tidak hanya kriminal tapi juga bertententangan dengan hukum dan hak asasi manusia (HAM)," kata Juniardi.
Dia menerangkan, dalam menjalankan aktivitas jurnalistik, wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Wartawan tidak boleh diintimidasi saat peliputan, karena wartawan dilindungi undang-undang," terangnya.
Senada, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung menyesalkan pengusiran dan upaya perampasan alat kerja terhadap kedua jurnalis tersebut.
Ketua AJI Bandarlampung Hendry Sihaloho menambahkan, keberadaan jurnalis Lampung Post dan Lampung TV guna memenuhi hak publik untuk tahu.
"Apa yang dilakukan satpam BPN mencederai kebebasan pers. Ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis,” kata dia.
Dia meminta, agar masyarakat menghormati proses jurnalistik. Selain memenuhi hak publik atas informasi, pekerjaan jurnalis dilindungi Undang-Undang Pers.
"Undang-Undang Pers mengatur bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat," tegasnya.
Sementara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandarlampung sangat menyesalkan peristiwa dugaan intimidasi yang dilakukan oleh Satpam BPN tersebut.
"Hal ini menambah daftar panjang kasus-kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers yang semestinya dapat dipahami oleh seluruh elemen masyarakat," kata Direktur LBH Bandarlampung Sumaindra Jarwadi.
Dia menegaskan, intimidasi dan penghalangan peliputan berita yang terjadi di Kantor BPN Kota Bandarlampung dapat diancam pidana.
"Pasal 18 Undang-Undang tentang Pers menyatakan, "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta," tegasnya. (**)