Penasihat Hukum: Jaksa Perkara Mantan Sekdis BMBK Lampung Diduga Salah Pasal

img
Tim Penasihat Hukum Mantan Sekretaris Dinas Bina Marga Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung.

MOMENTUM, Bandarlampung--Perkara dugaan penipuan dan penggelapan yang diduga melibatkan mantan Sekretaris Dinas Bina Marga Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung dengan register perkara nomor: 112/Pid.B/2022/PN Tjk di Pengadilan Negeri Tanjungkarang kembali digelar.

“Hari ini kita sidang kembali dengan agenda penyampaian Nota Pembelaan (Pledoi) atas Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Nomor Register Perkara: No.Reg.Perkara PDM-036/TJKAR/01/2022, klien kami dituntut dakwaan kesatu Pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP,” ujar penasihat hukum mantan Sekretaris Dinas Bina Marga Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Lampung, Gindha Ansori Wayka, Senin (4-4-2022).

Gindha Ansori Wayka yang didamping penasihat Hukum NBA lainnya yakni Thamaroni Usman, Ari Fitrah Anugrah dan Iskandar menyampaikan pledoi yang intinya keberatan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut mantan Sekerataris Dinas BMBK Provinsi Lampung tersebut selama tiga tahun dan enam bulan.

“Kami Tim Penasihat Hukum keberatan karena selain tuntutan JPU terlalu tinggi dan rumusan perbuatan yang terungkap di persidangan dari para saksi termasuk saksi korban pun tidak tepat sebagai tindak pidana penipuan, tetapi kecenderungannya adalah Tindak Pidana Gratifikasi,” tambah Pengacara Muda ini.

Ditanya lebih lanjut dasar klaim bukannya tindak pidana penipuan melainkan gratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Jo Undang-undang 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dijelaskan Gindha, bahwa saksi korban dan saksi lainnya aktif, bukan pasif dalam peristiwa hukum tersebut. Jadi, kata dia, itu merupakan ciri gratifikasi bukan penipuan.

“Para saksi termasuk korban berperan aktif dalam peristiwa hukum ini, melakukan berkali-kali pertemuan dengan klien kami, termasuk berbagai cara meyakinkan bahwa pekerjaan itu ada di Dinas BMBK Provinsi Lampung dengan menyetorkan sejumlah uang melalui saksi lain (HS), sedangkan para saksi dan korban memahami betul bahwa mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan tanpa proses tender melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP),” papar dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) itu.

Menariknya menurut Gindha, para saksi begitu antusiasnya dalam mendapatkan paket proyek yang diklaim milik JP tersebut dan bahkan ada saksi yang menanyakan benar apa paket itu ada dan kepada siapa setor uang mukanya.

“Ada saksi yang menyebutkan kalau mereka berminat bagaimana dengan hitung-hitunganya, sehingga mereka bisa memperoleh pekerjaan tersebut dan kepada siapa menyetor uang mukanya, maka menurut kami mereka bukan korban dalam tindak pidana penipuan, tetapi mereka adalah pelaku dalam tindak pidana gratifikasi,” tandas Gindha.

Lebih lanjut, Gindha menjelaskan, bahkan dalam fakta persidangan khususnya saat pemeriksaan saksi, mereka (saksi.red) meyakini kalau tidak karena ada sosok klien kami yang merupakan Sekretaris Dinas BMBK Provinsi Lampung saat itu. Mereka, kata Ginda, tidak percaya dengan saksi HS yang berinisiasi menjual paket JP senilai Rp37 miliar dari Rp150 miliar di Dinas BMBK Provinsi Lampung.

“Semua saksi terutama korban menyatakan bahwa mereka yakin dengan sosok klien kami karena yang bersangkutan sedang menjabat saat itu, dengan harapan bisa membantu mereka secara maksimal dengan sejumlah uang yang telah diberikan kepada Saksi HS dan Klien Kami untuk mendapatkan pekerjaan dimaksud,” tambah pria kelahiran Negeri Besar Waykanan tersebut.

Menurut Gindha, perbuatan para saksi seharusnya memenuhi rumusan unsur sebagaimana dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) huruf (a) sebagai orang yang memberikan gratifikasi dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Jo Undang-undang 20 tahun 2001, bukan orang yang ditipu menurut Pasal 378 KUHP.

“Para saksi terutama saksi korban dalam menyerahkan uang setoran tersebut,  diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya klien kami, atau yang menurut pikiran orang (saksi) yang memberikan tersebut ada hubungan dengan jabatannya, sehingga disimpulkan bahwa Jaksa salah pasal dalam merekonstruksi dakwaan dan salah tuntutan dalam perkara ini, sehingga menurut hukum klien kami harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum,” pungkas Gindha.(**)






Editor: Agus Setyawan





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos