Konflik Lahan dengan Warga, PT KAI Ngotot Mengacu Grondkaart

img
Manager Humas PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Divre IV Tanjungkarang, Franoto Wibowo. Foto: Agung Chandra Widi

Harianmomentum.com— Sengketa lahan antara PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan warga tak kunjung menemui titik penyelesaian. Permasalahan tersebut terjadi di berbagai penjuru Indonesia, termasuk di Lampung.

 

Di Lampung saja, permasalahan ini terus bergulir bagaikan bola panas. Semua pihak merasa benar dan merasa berhak atas lahan tersebut.

 

Disatu sisi, pihak PT KAI mengklaim bahwa lahan yang luasnya jutaan hektar tersebut adalah aset negara yang saat ini dikuasakan kepada PT KAI.

 

Disisi lain, masyarakat yang telah berpuluh tahun menduduki lahan tersebut juga mengklaim kalau tanah tersebut adalah milik mereka.

 

Menurut Manager Humas PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Divre IV Tanjungkarang, Franoto Wibowo setiap lahan yang masuk dalam grondkaart (peta tanah) PT KAI, adalah murni menjadi hak PT KAI dalam pengelolaannya.

 

Grondkaart tersebut bukan hanya peta. Melainkan surat ukur atau gambar teknis yang memiliki dasar hukum berupa keputusan atau penetapan. Itu bisa digunakan sebagai referensi awal bagi proses pembuktian hak kepemilikan lahan,” kata Franoto di kantornya, Senin (30/10).

 

Menurut Franoto, saat ini PT KAI sedang terus berusaha menyelamatkan aset negara tersebut dengan upaya membuatkannya sertifikat tanah. “Kita lakukan itu secara bertahap. Karena bila langsung sekaligus, biaya membuat sertifikatnya sangat tinggi,” jelasnya.

 

Di wilayah PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Divre IV Tanjungkarang saja, diketahui sebanyak 42 juta meter persegi lahan milik negara yang dikuasakan kepada PT KAI.

 

“Luas aset tanah dan bangunan yang ada ditanah itu sekitar 42 juta meter persegi. Itu mulai dari Tarahan Lampungselatan, sampai Tanjungramban Muara enim Sumatera Selatan,” terangnya.

 

Franoto menyayangkan terkait isu yang tersebar di masyarakat yang menyebutkan bahwa lahan milik PT KAI hanya terbatas pada enam meter ke kanan dan kekiri. Menurutnya, ini adalah kekeliruan.

 

“Ini suatu pembodohan masyarakat. Memang dalam undang-undang perkeretaapian nomor 23 tahun 2007 mengatakan demikian. Tetapi, sebenarnya 6 meter kekanan dan kekiri itu hanya untuk ruang manfaat jalan. Intinya itu untuk teknis operasional kereta api,” jelasnya.

 

Sedangkan, terkait Undang-undang Agraria nomor 5 tahun 1960 tentang tanah negara yang ditempati rakyat lebih dari 20 tahun dapat disertifikasi, Franoto menjelaskan bahwa itu tidak dapat dijadikan alasan pihak-pihak tertentu.

 

“Undang-undang  Agraria itukan untuk lahan milik negara yang statusnya lahan tidur, tidak ada yang memiliki. Kalau lahan PT KAI, itukan sudah dikuasakan oleh negara kepada PT KAI untuk pengelolaannya,” terangnya. (acw)

 

 







Editor: Harian Momentum





Leave a Comment

Tags Berita

Featured Videos